Menyegarkan Kembali Makna Dan Misi Islam Yang Sesungguhnya






Pergeseran makna Islam


 Teringat perkataan dari K.H Husein Muhammad ketika menjelaskan makna Islam yang menurut al faqir sangat dalam akan makna dan sangat jarang sekali di kemukakan oleh pemikir-pemikir Islam lain nya. Ulama kharismatik yang kerap kali dicap sebagai pemikir progresif ini mangatakan bahwa makna Islam yang sesungguhnya telah mengalami beberapa pergeseran dari yang awalnya adalah sebuah pengidentifikasian suatu perilaku menjadi sebuah identitas sosial dalam sebuah komunitas tertentu, menurutnya ini terjadi Karna proses sejarah permusuhan yang kerap terjadi antara umat muslim dengan umat yang berseberangan dengannya yaitu orang-orang kafir.


 Kemudian berkembanglah atas pengukuhan makna tersebut dengan melawan mereka yang berseberangan dengannya yaitu orang orang kafir. Kafir sesungguhnya sebuah identifikasi perilaku yang menutup akan suatu kebenaran bukan sebuah pengindentifikasian suatu kelompok atau komunitas tertentu. Perilaku kafir yang menutup akan kebenaran ini beberapa kali kerap disebutkan oleh mayoritas ulama fiqih dalam menghukumi seorang muslim manakala dia melakukan perbuatan yang berada di luar ketaatannya (secara akidah, syariah atau akhlak).


 Sebelum lebih jauh perlunya kita bisa membedakan antara Islam dengan agama Islam dan muslim itu sendiri.


 Dalam khazanah keilmuan Arab yang selalu menjadi perhatian menarik adalah sebuah komtemplasi yang unik bahwa terdapat satu istilah dalam perbendaharaan kata yang memiliki dua pendefinisian yang sangat berbeda. Contohnya seperti shalat yang memiliki dua sudut pandang pendifinisian. Pertama dalam sudut pandang etimonologi makna nya adalah ad du’a, dan yang kedua dalam sudut pandang terminologi bermakna aqwal wa af’al muftatahah bi at takbir wa mukhtatamah bi as salam. 


 Maka begitu pula makna Islam dalam pendefinisian nya memiliki dua makna yang berbeda. 


 Secara etimologi bahasa Arab, Islam memiliki makna berserah diri. Maka dari itu banyak sekali teks Al-Qur’an yang menjelaskan bagaimana kondisi spiritual nabi-nabi terdahulu dari sebelum Nabi Muhammad SAW sampai Nabi Adam AS, dalam berbagai redaksinya Al-Qur’an selalu menegaskan dengan bunyi yang sama “wa nahnu lahu al muslimun” . 
Sebagai mana yang sudah dijelaskan di atas bahwa makna dari Islam sejatinya adalah identifikasi sebuah perilaku, dan karna sebuah kepasrahan adalah perilaku maka bisa disebutkan seseorang yang berserah diri kepada Tuhan itu adalah Islam.


 Islam dalam makna lain adalah “al khudu’ wa al inqiyad bima ja’a bihi Rasulullah shalallahu alaihi wassalam.” 
Dalam pengertian ini agaknya kita bisa lebih menyadari bahwa Islam disini memiliki makna yang lebih parsial di bandingkan makna Islam yang pertama. Karna dalam kondisi ini komponen-komponen dari sebuah pengidentifikasian prilaku tersebut telah Rasul kumpulkan dan kemudian di susunnya lah  menjadi sebuah agama yang dengan nya manusia berkendara secara spiritualitas untuk sampai menuju Tuhan nya. Maka makna tersebut adalah buah dari sudut pandang perbendaharaan kata secara terminologi, dan tentu orang yang berkendara dalam sebuah kendaraan Islam ini disebut sebagai seorang muslim.


 Dari beberapa gagasan di atas mungkin kita bisa mendapatkan beberapa kesimpulan bahwa makna dari Islam dan kafir itu bisa lebih tepat jika kita artikan sebagai sebuah pengindetifikasi dari perilaku seseorang yang sama sama memiliki potensi untuk dilakukan oleh semua kalangan. Pun, itu mereka yang muslim dan non muslim kedua memilik potensi dan tendensi yang sama dalam melakukan kedua prilaku tersebut. 


 Seorang muslim bisa di katakan kafir manakala dalam keadaan nya dia keluar dari koridor-koridor ketaatan kepada Tuhan. Seperti contoh salah satu nya ketika kita meninggalkan kewajiban kita sebagai seorang muslim yaitu shalat, dalam kasus ini mayoritas ulama fiqih menghukumi perbuatan nya sebagai kufur ni’mah yaitu sebuah pengindentifikasian atas suatu perilaku yang kafir atau menutup diri dari nikmat yang telah Tuhan berikan kepadanya.
Sebaliknya pula bahwa seorang non muslim bisa dikatakan perilakunya sudah islamis atau mencerminkan perilaku umat beragama Islam manakala dalam kondisi nya dia melakukan sebuah perbuatan yang baik-baik.
Maka ketika Rasul ditanya apakah Islam yang paling baik? Rasul menjawab: ath’imu at tha’am wa afsu as salam. 
Sangat jelas dari jawaban tersebut bahwa sebaik baik nya islam adalah memberi makan kepada orang lain dan menyebarkan perdamaian, dua buah perilaku yang menjadi titik tumpu atas penjustifikasian seseorang apakah dia sudah melakukan  perbuatan baik atau tidak.


Pergeseran misi Islam 


 Setelah kita selesai dalam pembahasan awal, kini kita membahas akan misi Islam yang sesungguhnya dalam menjaga gagasan rahmatan lil alamin. Dalam sebuah buku Syekh Abdul Halim Mahmud menjelaskan sejarah Rasul dalam periode awal ketika mengemban tugas nya dalam berdakwah. Buku yang berjudul at tafkir al falsafah fii al Islam tersebut memuat gagasan Syekhul akbar yang menjadi guru Prof. Quraish Sihab ini bahwa dalam periode awal dakwah nabi mempunyai misi dalam meyakinkan orang orang Arab dahulu yang memiliki keyakinan tentang agama warisan nenek moyang nya. Disamping itu Rasul pun menggeser keyakinan mereka akan ketanggung jawaban yang bertitik tumpu terhadap suatu komunitas menjadi ketanggung jawaban yang bertitik tumpu terhadap personalitas.


 Paradigma diatas al faqir kutip Karna ingin menyampaikan bahwa Islam itu sendiri semenjak awal pertama Rasul dakwahkan hanya memiliki misi dalam mendidik dan memberikan pengetahuan, terutama dalam aspek akhlak, bukankah Rasul berkata “innama buistu li utammima makarima al akhlaq”. Dewasa ini dalam pengukuhan akidah yang sudah sangat kuat dan penerapan hukum-hukum syariat walau masih belum sempurna perlulah yang menjadi acuan terpenting adalah pembelajaran dan penerapan perilaku akhlak yang mulia. 


 Imam taqiyuddin al subki dalam al-fatawa berkata: Nabi SAW bersabda: “Sungguh, Allah memberi hidayah kepada seseorang melaluimu, lebih baik bagimu dari onta merah.” Tidak bercampurnya orang orang Kafir dengan kaum muslimin membuat mereka tidak mengenal kebaikan Islam. Coba perhatikan fase dari hijrah hingga perjanjian Hudaibiyyah, orang orang kafir yang masuk islam sangat sedikit. Sedangkan dari fase Hudaibiyyah hingga penaklukan kota Makkah, puluhan ribu orang kafir berbondong-bondong masuk Islam, Karena mereka berinteraksi dengan kaum muslimin menyusul adanya perjanjian gencatan senjata antara mereka (lihat :Dr. Usamah Sayyid al-azhary Islam radikal telaah kritis radikalisme dari ikhwanul muslimin hingga ISIS hal. 72 abu dhabi dar al Faqih)


 Contoh kasus, seperti fatwa mayoritas dan hampir semua ulama-ulama Al-Azhar berpendapat bahwa hukum mengucapkan selamat hari natal adalah di anjurkan, bahkan guru kami di Alexandria Syeikh ‘Ala musthafa memberikan dalil ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
و إن احد من المشركين إستجارك فأجره حتى يسمع كلام الله 
Ketika beliau menafsirkan ayat tersebut, beliau berkata ''Mengapa Allah menggunakan kata sami’a yasma’u bukan istama’a yastami’u ?'' Kemudian beliau melanjutkan bahwa kata dari sami’a yasma’u adalah mendengarkan tanpa meminta untuk orang yang kita dakwahi agar mendengarkan, alih alih untuk meminta didengar justru dari perlakuan kita dalam bermualah dengan mereka lah (orang-orang kafir) itu akan membuat mereka mendengar dan mendapatkan interaksi yang baik dari akhlak kita sebagai umat muslim dan mungkin mungkin saja menjadi jalan untuk mendapatkan hidayah atau dalam redaksi Al-Qur’an disebutkan sebagai kalam Allah.


 Pergeseran misi dakwah mulai terjadi disaat beberapa kelompok dalam Islam meyakini bahwa jalan satu satu untuk membuat Islam kembali berjaya hanyalah ketika Islam mengusai dan mendominasi dunia dari kekejaman kaum materialis atau kaum kafir sebagaimana Allah telah janjikan kemenangan atas ini. Pemonopolian janji dan dari kemunduran makna misi dakwah ini menjadi sebuah krisis penting akan kemerosotan nya kita dari aspek ilmu pengetahuan, dengan segala bekal ilmu yang kurang dari segi ilmu pokok dan penunjang dalam metodologi penafsiran membuat beberapa ayat di dalam Al-Qur’an menjadi menyeramkan yang alih-alin ingin mencerminkan akhlak mulia terhadap mereka yang di luar beragama Islam justru malah membuat keributan dan kemunduran intelektual itu sendiri di dalam tubuh umat muslim.


 Bertambah ketika kelompok tersebut terus memproduksi bahan pemikiran nya ini dengan cara menyebarluaskan kepada masyarakat awam, dengan janji janji yang mereka umbar terlebih mengatasnamakan agama mereka menjual ayat ayat Tuhan hanya demi kelancaran ambisi kekuasaan mereka saja. Sejarah akan selalu mengingatkan kita, bukankah dahulu Sayyidina Ali di tuntut menggunakan ayat Al-Qur’an ketika dilengserkan oleh kaum khawarij ? “Kalimat al-haqq urida biha al bathil” penggalan kalimat yang Sayyidina Ali ungkap kepada mereka. Begitulah jika ambisi politik sudah berselingkuh dengan agama, hanya bau amis darah yang akan tercium naudzubillah tusmma naudzubillah. 


 Jika seseorang dari kita terdidik dengan pola berpikir demikian, niscaya dia akan menjadikan kekuasaan dan kemenangan sebagai tujuan, yang dia raih dengan bergantung kepada janji Allah, bukan kepada kemampuan untuk membangun dan memakmurkan bumi, menciptakan lapangan pekerjaan, membangun peradaban, membentuk lembaga-lembaga, serta memuliakan manusia, menyediakan kebutuhan dan kecukupannya. Karenanya mereka tidak berpijak kepada hal itu semua, maka kekuasaan yang mereka inginkan itu kehilangan ruhnya dan mengalami kemunduran makna. Dalam persepsi mereka, benar benar telah hilang maqashid syariah untuk melindungi nyawa manusia dan memuliakannya, menjaga agama, kehormatan, harta, dan akal. Sehingga dengan demikian, sistem Islam rusak semuanya. Kelompok-kelompok tersebut tetap memahami kekuasaan adalah sebuah kemenangan dan menegakkan sistem politik serta menguasai semua jabatan pemerintahan, mereka memahami janji Allah memberikan keberhasilan dan pertolongan sebagai sebuah jaminan hanya bagi mereka, bukan kelompok lain. Fikih membangun dan memakmurkan bumi benar-benar hilang dari pikiran mereka. (lihat :Dr. Usamah Sayyid al-azhary Islam radikal telaah kritis radikalisme dari ikhwanul muslimin hingga ISIS hal. 98-99 abu dhabi dar al Faqih)


 Maka sangatlah keliru jika ada yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang di janjikan Tuhan untuk kelak bisa mengusai dan mendominasi dunia. Sangat lah sempit dan menjadi sebuah kemunduran makna jika misi Islam dalam berdakwah hanya di maknai dengan sebuah kekuasaan yang mendominasi yang mempunyai batas batas teritori dan menumpukan satu kekuasaan di atas satu pemerintahan islam. 


 Memang sangat tidak terasa perbedaan nya secara kasat makna apalagi oleh para awam, tapi percayalah itu semua hanya akan merugikan umat muslim itu sendiri allahummahfadz biladana. 


 Kembalilah kepada hakikat misi sebagaimana Islam itu hadir di muka bumi ini membangun peradaban, menyebarkan perdamaian , mamakmurkan bumi, memuliakan sesama manusia dan selalu berperilaku baik nan terpuji. Maka kelak kita sesungguhnya sudah menang dan meraih kemenangan ketika kita sudah dapat mengaplikasikan cerminan perilaku baik dalam hidup ini kepada sesama manusia dan umat beragama lain maka eksistensi akan gagasan rahmatan lil alamin niscaya akan terus terwujud sesuai dengan misi dakwah Rasul yang sesungguhnya .



Waallahu’alam bishawwab 



Kairo, 16 Juli 2019




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Poligami Antara Adat Dan Syariat

Series Loki dalam Metafor Filsafat dan Agama

Meneladani Jejak Para Wali Iskandariyah