Shalat Itu Penting, Tapi Bukan Itu Yang Paling Penting



 Sebuah kesan yang tidak akan alfaqir lupakan ketika kali pertama mengikuti pengajian alhikam li ibni ‘athaillah bersama almarhum dan almagfhur Syeikh Sholah Nashor.


 Beliau membacakan bait Hikam yang berbunyi “min ‘alamat al i’timad fi al ‘amal nuqshan ar raja’ ‘inda wujud az zilal”
bahwa sesungguhnya tanda dari seseorang yang menggantungkan segalanya terhadap apa yang dia perbuat maka pasti dia akan  cenderung pesimis atau kurang harapan ketika jatuh dalam sebuah kegagalan.


 Selaras beliau kemudian membunyikan sebuah hadist nabi SAW :
لن يدل احدكم الجنّة عمله. وقال: ولا أنت يا رسول الله. ثمّ قال: نعم، ولا أنا. 
Rasul menegaskan bahwa sekali kali kalian tidak akan pernah masuk ke dalam surga atas amal dan perbuatan kalian. Kemudian sahabat bertanya “apakah kau(rasul) juga begitu?” Rasul menjawab “ya, akupun begitu” 


 Benar adanya atas pernyataan bahwa sesungguhnya Rasul pun sekali-kali tidak memiliki jaminan masuk surga, maka ketika Prof. Quraish Shihab mengatakan dalam salah satu ceramahnya bahwa sekali-kali Rasul pun tidak dijamin Tuhan masuk surga, itu sudah sesuai dengan dalil yang di sampaikan di atas, kemudian beliau menambahkan bahwa memasukan hamba-Nya kedalam surga adalah hak prerogatif nya Tuhan itu sendiri.


 Walaupun dalam perihal jaminan surga atas Rasul ini terdapat dalil agama yang agaknya bertentangan satu sama lain. 

 Dalam hal ini hemat saya adalah kepercayaan bahwa Rasul memang sudah dijanjikan Tuhan atas surga terlepas itu menjadi hak prerogatif atau tidak, 
atau tentang dalil agama yang saling bertentangan satu sama lain,
tetapi yang pasti dalam hal ini bukan berarti atas jaminannya masuk surga tersebut lantas Rasul pun tidak dibebankan amal syariah yang telah Tuhan tetapkan, disamping agar dapat menjadi teladan bagi umat nya tentu yang paling penting adalah untuk menggapai rahmat dan ridho Tuhan.


 Maka dari itu mengapa Rasul sampai masih mengerjakan shalat lima waktu beserta shalat sunah lain nya, bahkan dijelaskan dalam salah satu riwayat bahwa ketika  Rasul mengerjakan shalat sunah tahajud tidaklah beliau berhenti kecuali kakinya menjadi bengkak. 


 Dalam buku “Menjadi Manusia Rohani” karya Ulil Abshar Abdalla beliau menjelaskan bait Hikam dengan bunyi yang sama, bahwa sederhananya Imam Ibnu ‘athaillah hanya ingin menegaskan jika setiap hasil atas apa yang seorang hamba dapatkan tidaklah sekali-kali akan tercapai kecuali disana terdapat campur tangan Tuhan. Sangat kompleks jika perbuatan duniawi saja kita harus melibatkan Tuhan dalam mengharapkan ridho nya lantas bagaiamana dalam perbuatan yang bersifat ukhrawi (akhirat) ?


 Maka beliau menyebutkan bahwa ada 3 jenis amal atau perbuatan dalam agama : amal syariah, amal thariqah, dan amal haqiqah.


 Amal syariah adalah ketika kita menyembah Tuhan sesuai dengan peraturan dan hukum agama seperti shalat.


 Amal thariqah adalah kesadaran bahwa saat kita menyembah Tuhan, kita tidak sekedar menyembah, melainkan kita sedang dalam perjalanan menuju Tuhan, sesuai dengan apa yang selalu di yakini dan di percaya oleh para kalangan sufisme bahwa sesungguhnya kita ini sedang berada dalam perjalanan menuju Tuhan. 


 Amal haqiqah adalah pengalaman spiritual yang di sebut dengan syuhud.


 Apa itu syuhud ? 
Syuhud adalah pengalaman mistik/spiritual yang hanya bisa dialami oleh seseorang yang sungguh-sungguh menjalani dua amal sebelumnya. Dalam pengalaman itu, kita merasa seolah-olah berjumpa, menyaksikan Tuhan. Dan tentu itu bukan penyaksian secara lahir melainkan secara batin.


 Sebagaimana banyaknya pengalaman ulama-ulama sufi fenomenal sekaligus kontroversial seperti Ibnu ‘arabi, alhallaj, dan ulama nusantara yang terkenal yaitu syekh siti jenar terlepas dari pengalaman apa yang mereka rasakan itu sebuah kebenaran atau tidak, tetapi itu menjadi sebuah bukti tentang perjalanan diri mereka secara batin yang mungkin sudah mencapai derajat syuhud.


 Maka jangan sekali-kali kita mengira bahwa amal syariah dan thariqah bisa secara langsung atau otomatis akan membawa kita kepada pengalaman haqiqah. Amal syariah dan amal thariqah adalah jalan atau wasilah menuju kesana. Kita harus melalu jalan tersebut. Tetapi sampai atau tidak nya kita ke puncak haqiqah itu tidak sepenuhnya dijamin atau ditentukan atas usaha kita sendiri. Melainkan ditentukan dan dijamin atas kemurahan rahmat dan ridho Tuhan semata.  


 Pada salah satu kajian mingguan kami dalam membahas kitab Ihya bersama Syekh Muhanna beliau sempat menyampaikan sebuah cerita yang sangat dalam akan sebuah hikmah. 


 Di akhirat kelak ada seorang hamba yang datang untuk di timbang amal baik/buruk nya yang mana itu menjadi penentu apakah dia masuk ke dalam golongan penghuni surga atau neraka.


 Sebelum amal nya di timbang seketika dia berkata dengan gagah dan berani “wahai Tuhanku masukan lah aku ke dalam surga  atas amal-amal baik yang sudah ku perbuat selama di dunia” Tuhan menjawab “apakah kamu tidak ingin masuk surga atas rahmat- Ku?” Kemudian dia menjawab “tidak wahai Tuhanku, masukan lah aku ke dalam surga atas amal-amal baik ku” Tuhan menjawab kembali “Baik,” maka ketika itupun seraya Tuhan menyuruh malaikat untuk menimbang seluruh amal-amal baiknya dengan salah satu rahmat yang Tuhan anugerahkan kepada setiap hamba nya yaitu nikmat melihat. Dan alhasil semua amal-amal baik yang di perbuat oleh hamba tersebut lebih ringan jika hanya masih di timbang oleh salah satu rahmat yang Tuhan berikan kepadanya, maka Tuhan pun berkata “Masukkanlah dia ke dalam neraka atas amal-amal baik yang dia perbuat” namun seketika dia berkata dengan penuh pengharapan “wahai Tuhanku Masukkanlah aku ke dalam surga mu atas rahmat yang engkau anugrahkan” maka Tuhan akhirnya berkata “Masukkanlah dia ke dalam surga atas rahmat-Ku” 


 Cerita tersebut menyinggung terhadap setiap seorang hamba yang mengharapkan sebuah balasan atas amal-amal baik yang mereka lakukan, seperti ibadah shalat, puasa dan lain-lain. 


 Perbuatan tersebut penting tapi bukan itu yang paling penting. Karna sesungguhnya perbuatan tersebut hanya menjadi wasilah kita untuk bisa menggapai dan mengharap sesuatu yang lebih penting yaitu rahmat dan ridho Tuhan semata.



Wallahu ‘alah bisshawwab   



Kairo, 9 Juli 2019




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Poligami Antara Adat Dan Syariat

Series Loki dalam Metafor Filsafat dan Agama

Meneladani Jejak Para Wali Iskandariyah