Series Loki dalam Metafor Filsafat dan Agama


 Sudah menjadi hal yang biasa ketika MCU (Marvel Cinematic Universe) mengguncang industri perfilman di dunia. Seperti pada tahun 2019 yang lalu, ketika film puncak pada fase ke-3 franchise Avanger yaitu Avanger Endgame tayang di berbagai belahan dunia. Sempat tercatat film ini menggeser film Avatar (2009) sebagai film terlaris sepanjang masa versi Box Office Mojo, terbukti dari antusiasme masyarakat yang tak terbendung dan membanjiri bioskop-bioskop dihari pertama penayangannya hingga hari-hari selanjutnya. 

 

 Setelah kesuksesannya dalam fase ke-3, studio marvel kembali serius menggarap sekuel selanjutnya pada fase ke-4 dari perjalanan para superhero serta villainnya dalam beberapa projek yang sudah mereka umumkan baik dari film maupun series, seperti series hawkeye yang sedang tayang saat ini. Tetapi bukan series ini yang akan kita bahas, melainkan series sebelumnya yang sudah tayang terlebih dahulu karna sesuai dengan judul yang saya tulis diatas yaitu series Loki. 

 

 Series Loki bagi saya menyimpan kesan yang mendalam dibanding series lain baik yang sudah ataupun sedang tayang saat ini. Series ini mengambil latar pada saat para Avanger melakukan perjalanan waktu kembali ke tahun 2012 di battle of New york untuk mengambil teserract dan tongkat scepter milik Loki, namun sayang ketika akan mengambil teserract Loki kemudian berhasil membawanya kabur dan menghilang bersamanya. 

 

 Dari peristiwa tersebut tanpa disangka ternyata membawa Loki untuk melawan takdir dirinya yang seharusnya dia dibawa dan diadili di Asgard tetapi justru menghilang bersama dengan tesseract tersebut. Loki akhirnya terdampar di sebuah padang pasir luas kemudian bertemu dengan beberapa orang dari suku setempat yang sempat kebingungan melihat Loki karena muncul secara tiba-tiba, tidak lama berselang datanglah anggota TVA (Time Variance Authority) untuk kemudian membawanya ke markas mereka.

 

 Perjalanan panjang dimulai setelah Loki dibawa dan diadili di TVA, pengadilan TVA menjelaskan jika Loki telah membuat realitas baru karena telah lari dan melawan takdirnya, sedangkan hal tersebut TVA cegah untuk menghindari realitas bercabang pada tatanan ruang dan waktu. Maka mereka membawa Loki dan akan menghukumnya dengan memusnahkannya. TVA kembali menjelaskan jika seseorang yang melawan takdirnya dan kemudian membuat realitas baru maka seseorang itu disebut variant.

 

 Alih-alih diadili, Loki ternyata direkrut menjadi anggota TVA untuk memburu para variant seperti dirinya dari berbagai timeline (garis waktu) yang membawa kejutan diakhir series ini nanti bahwa ternyata semua anggota TVA adalah variant yang sama seperti dirinya juga. Ini sangat membawa kekecewaan terhadap Loki, pasalnya diawal dia sudah berusaha mempercayai TVA sebagai kaki tangan yang diciptakan oleh sang time keeper (penjaga waktu) yang ternyata mereka adalah orang-orang sama seperti dirinya yang melawan takdir dalam kehidupan mereka masing-masing dimana merekapun sebenarnya tidak ingin berbuat seperti itu seandainya mereka tahu bahwa itu bukan takdir mereka. 

 

 Sampai pada suatu titik series ini membawa kita dimana Loki akhirnya menemui sang time keeper yang berada diluar tatanan ruang dan waktu, Loki dijelaskan olehnya bahwa realitas bercabang dicegah agar tidak terjadi karna itu akan membawa bencana dengan terbenturnya antara realitas satu dengan yang lainnya seperti saat dimana sang time keeper belum menjadikan timeline bercabang tersebut menjadi satu timeline yang kemudian kini disebut sebagai sacred timeline (garis waktu yang suci). 

 

 Kemudian film diakhiri dengan kematian sang time keeper yang dibunuh oleh Loki karna dia merasa sang time keeper telah merenggut kebebasan setiap orang dalam menentukan pilihan jalan hidupnya masing-masing dan harus membuatnya terkekang oleh takdir ketetapan yang sudah diberikan kepada mereka.

 

 Sebelum kejadian itu sebenarnya Loki sempat diajak bernegosiasi oleh sang time keeper untuk menggantikan dirinya sebagai penjaga sacred timeline karna dia telah mencapai ambang batas waktu untuk dapat mengetahui takdir dan ketetapan dari setiap kehidupan. Kemudian dengan matinya sang time keeper akhirnya sacred timeline pun pecah dan menjadi realitas bercabang (multiverse) yang akan membawa cerita ini pada film dan series marvel selanjutnya. 

 

 Pada uraian diatas tentu saya tidak menjelaskan secara utuh alur cerita dari series tersebut, saya hanya menyoroti plot-plot cerita  yang dirasa penting dan mudah dipahami bagi para pembaca awam yang belum menonton series ini untuk kemudian bisa saya bahas pada tulisan saya ini. 

 

 Sebelum kita beranjak pada pembahasan agama, secara umum kita perlu membahas apa itu ruang dan waktu menurut para pemikir-pemikir terdahulu hingga saat ini. 

 

 Sependek pembacaan saya belum ada satupun penjelasan yang memuaskan menengenai ruang dan waktu, dari filsuf Yunani kuno Zeno hingga Einsten. Tapi setidaknya saya ingin mengenengahkan teori-teori serta pemaparan beberapa filsuf dan saintis mengenai hal tersebut yang setidaknya bisa sedikit menjawab kerancuan dari ketidakpuasan saya pribadi mengenai penjelasan apa itu ruang dan waktu. 

 

 Pemaparan mengenai ruang dan waktu yang paling populer disampaikan oleh Zeno filsuf Yunani kuno. Seperti yang sudah sangat familiar dikalangan para peminat filsafat bahwa gerak dalam ruang dan waktu menurut Zeno adalah suatu kemustahilan. Mengapa gerak? Karna tanpa adanya gerak, ruang dan waktu akan menjadi sebuah kehampaan. Maka gerak menjadi kata kunci baginya untuk menjawab pertanyaan apa itu ruang dan waktu.

 

 Kemudian Zeno melanjutkan bahwa sebelum suatu benda bergerak sampai ke titik tujuan benda tersebut harus melewati separuh jarak diantara titik tolak dan titik tujuannya dan sebelum benda itu bisa melewati titik pertama dia harus melewati jarak separuh dari titik pertama tadi dan demikian seterusnya hingga tak terhingga.

 

 Terlihat sangat rumit untuk difahami, tetapi sederhananya jika merujuk terhadap pernyataan Agustinus yang juga mempunyai teori menarik mengenai waktu dalam filsafat murninya bahwa konsep ini masih sebatas subjektif, begitupun dengan uraian-uraian populer lainnya mengenai ruang dan waktu seperti menurut, Newton, Berkeley, Kant, Russel hingga relativitasnya Einsten. 

 

 Realitas ruang dan waktu yang sedang kita alami saat ini maupun seperti dalam series Loki adalah bersifat subjektif, dia bersifat temporal dan baru. Maka sangat masuk akal jika diakhir series tersebut sang time keeper berada dibatas ambang ketidaktahuan tentang sesuatu yang akan terjadi, karna sesuatu yang baru tidak akan dapat mengetahui hal yang baru dan yang akan terjadi juga, dia hanya akan dapat diketahui oleh sesuatu yang menciptakan dia dari ketiadaan menjadi ada, dan sesuatu tersebut tidaklah dapat menciptakan kecuali dia kekal dan abadi. 

 

 Pada pemaparan TVA sebelumnya dalam series Loki ini mengenai realitas bercabang atau multiverse sebenarnya sudah sering diangkat dalam pembahasan-pembahasan filsafat maupun sains. Ketika berbicara mengenai multiverse atau dunia pararel, tokoh pertama yang memunculkan istilah ini adalah seorang fisikawan Hugh Everett pada tahun 1950-an sebagai solusi atas sebuah masalah fundamental dalam fisika quantum.

 

 Kemudian pada tahun 1980-an istilah dunia pararel ini berkembang dalam penafsiran-penafsiran filsafat sebagai possible wolrd (dunia yang mungkin). David lewis tokoh penting filsafat analitik memperlihatkan teori bahwa dunia-dunia yang mungkin untuk ada bukan hanya dimungkinkan dalam sains, melainkan juga diperlukan agar sains bekerja. Sebab dalam dunia mungkin lah terletak pendasaran bagi hukum sebab-akibat, dan sesuatu seperti itu sangat perlu untuk dapat bekerjanya sains.

 

 Tidak asing bagi peminat industri perfilman ketika menonton suatu tayangan yang diangkat dari tema fiksi ilmiah, karena pasalnya marvel studio sudah sering mengangkat hal-hal yang bersifat ilmiah dalam berbagai filmnya, sebutlah seperti fisika quantum dan nano teknologi. 

 

 Beranjak pada pembahasan agama, konsep takdir dan ketetapan kemudian kehendak bebas yang menjadi plot cerita pada series ini sangat menarik sekali untuk dibahas dalam paradigma teologi. Lantas bagaimana pandangan agama mengenai takdir, ketetapan serta kehendak bebas dan kemudian apa relevansi dengan series Loki ini? 

 

 Takdir dan ketetapan sangat melekat sekali dengan doktrin agama, jika merujuk pada istilah islam takdir dan ketetapan ini diartika sebagai qadha dan qadar.

 

 Dalam tradisi Islam Tuhan memilik sifat-sifat yang mencerminkan kesempurnaan dan membuatanya-Nya terjauh dari hal-hal yang bersifat kurang bagi Tuhan. Ada dua sifat Tuhan yang akan saya soroti dalam sesi terakhir tulisan ini karena berkaitan dengan qadha dan qadar yang sudah saya singgung sebelumnya. 

 

 Tuhan memilik sifat ‘Ilm (maha mengetahui) dan sifat qudrah (maha berkehendak dan menguasai). Takdir atau qadar ini berkaitan erat dengan sifat qudrah-Nya sedangkan ketetapan atau qadha berkaitan erat dengan sifat ‘Ilm-nya. Begini uraian sederhananya, Tuhan mengetahui alur kehidupan setiap manusia yang akan mati karna itu adalah sebuah ketetapan dari-Nya, kemudian Tuhan berkehendak dan menguasai manusia sepanjang perjalan hidupnya dari bagimana cara dia hidup sampai nanti dia akan mati. 

 

 Jika demikian, lantas dimana letak kebebasan manusia dalam berkehendak atas dirinya jika kita terbelenggu karena telah mempunyai takdir dan ketetapan dari Tuhan? 

 

 Konsep kehendak bebas inilah yang ingin berusaha disampaikan dalam series Loki tersebut. Dalam series Loki semua variant yang berada di TVA adalah mereka yang menggunakan kehendak bebas mereka sebagai manusia, dalam arti lain bahwa dia berusaha melawan takdir dan ketetapan yang sudah diberikan. Tirani ini yang berusaha dilawan oleh Loki, dia merasa dirinya dan para variant lain sangat diperlakukan tidak adil.

 

 Bagaimana tidak, jika semua manusia ini tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan semua yang ingin mereka lakukan tanpa khawatir ditangkap dan diadili oleh TVA lantas darimana mereka bisa mengetahui takdir dan ketetapan tersebut agar mereka hidup sesuai jalur dan alur yang telah ditentukan? Ini semua sama dengan apa yang banyak dipertanyakan dibanyak benak manusia dan bahkan bagi para pemikir-pemikir agama sekalipun.

 

 Dalam agama, jika kita tidak mempunyai kehendak bebas dalam menentukan dan melakukan apapun lantas untuk apa konsep surga dan neraka? Toh kita sudah ditetapkan oleh Tuhan untuk masuk neraka kemudian Tuhan takdirkan pula kita untuk berbuat keburukan. Sebenarnya cukup rumit jika dijelaskan dalam tulisan opini semacam ini, tapi mungkin bisa kita ketengahkan agar setidaknya mendapatkan sedikit titik terang bersama. 

 

 Pada konsep perbuatan, agama mendefinisikan bahwa semuanya berasal dari Tuhan, kemudian mengenai pilihan untuk kita bersikap menjadikannya kebaikan atau keburukan itu berasal dari diri kita sendiri. Jadi pada dasarnya kita diberikan kewenangan oleh Tuhan untuk dapat memilih suatu perbuatan sesuai dengan kehendak yang kita inginkan. Tetapi muncul pertanyaan kembali, jika Tuhan menciptakan semua perbuatan termasuk keburukan maka apakah Tuhan meniscayakan keburukan tersebut dilakukan oleh manusia, lantas Tuhan sangat buruk jika begitu? 

 

 Pada tataran ontologis segala sesuatu dan semua hal kehendak berasal dari Tuhan, ini terjadi sebelum ada status baik dan buruk. Kemudian pada tataran aksiologis lah manusia membuat semua yang berasal dari Tuhan menjadi baik ataupun buruk. Seperti contoh pada kisah Nabi Adam, Tuhan tahu bahwa Adam akan memakan buah tersebut, kehendak adam dalam memakan buah itu berasal dari Tuhan itulah ontologis, tetapi kemudian direspon oleh Adam sebagai tindakan yang dilarang oleh Tuhan dan menjadikannya dikeluarkan dari surga itulah aksiologis.

 

 Setidaknya uraian saya pada sesi terakhir ini sudah cukup panjang untuk kemudian terus dilanjutkan. Sebenarnya ada banyak hal-hal menarik yang dapat kita jadikan perumpaan dari bagaimana Tuhan telah menganugrahkan kehidupan ini bagi kita. Contoh kecilnya seperti hanya dalam sebuah series ini kita dapat mengetahui tentang bagaimana manusia, alam dan Tuhan mempunyai relasi yang sangat intim dari segala macam aspek. 

 

Kairo, 8 Desember 2021

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Poligami Antara Adat Dan Syariat

Meneladani Jejak Para Wali Iskandariyah