Poligami Antara Adat Dan Syariat
Sekitar dua bulan yang lalu saya sempat di kagetkan
dengan sebuah poster yang beredar di laman akun twitter saya. Dalam poster
tersebut sangat jelas sekali tertulis sebuah kelas poligami nasional dengan
slogan yang tertera “cara cepat dapat istri empat”.
Terlihat sangat menyeleneh bagi saya pribadi
ketika sebuah praktik poligami di kelaskan, alih-alih yang katanya ingin
meneladani Rasul karna menjadi bagian dari syariah agama tapi justru malah
menunjukan kedangkalan dalam keberagamaan dia sendiri.
Memang betul dalam sudut pandang agama ada
dalil yang menguatkan tentang hukum berpoligami. Tapi apakah kita tau ada ayat
lain yang seolah-olah justru menyinggung kita bahwa kita tidak akan sekali-kali
berlaku adil terhadap istri-istri kita?
Ayat Al-Qur’an pertama yang berbunyi :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”An-Nisaa: 3.
Dan ayat yang kedua berbunyi :
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”An-Nisaa: 129
Dalam satu sisi Allah memperbolehkan agar kita
menikahi istri-istri kita dua, tiga, sampai empat tetapi dari sisi yang lain
Allah memperjelas bahwa sekali-kali kamu tidak akan bisa berbuat adil terhadap
istri-istri kamu walaupun kamu ingin berlaku demikian maka jangan terlalu
cenderung terhadap salah satu diantaranya.
Sebuah hukum yang satu sama lain redaksi nya
saling bertentangan. Sebuah perandaian jika memang kamu bisa berlaku adil maka
nikahilah dua sampai empat istri tetapi disurat yang sama dibalas dengan ayat
yang lain bahwa sekali-kali kamu tidak akan berbuat adil terhadap istri-istri
kamu sekalian.
Teringat perkataan guru kami Syekh Muhanna
ketika berpesan bahwa ada dua maqom dalam setiap diri
seseorang ketika dia menanggapi dua buah perkara keagamaan yang kiranya
bertentangan satu sama lain. Beliau menjelaskan bahwa seorang ‘arif akan
mendapati dirinya mengumpulkan dua perkara yang saling bertentangan dan
kemudian menyimpulkan sebuah hukum yang kiranya tidak menjadi fitnah di
tengah-tengah umat, berbalik dengan orang jahil yang justru
menyimpulkan sebuah hukum yang menimbulkan fitnah di tengah-tengah umat.
Saya tidak mengutip Tafshir dari manapun karna
tulisan ini bukan kajian akademik yang bisa disandarkan pendapatnya sesuai
sumber yang tertulis pada karya-karya ulama klasik maupun kontemporer. Tapi
saya ingin menyandarkan penyampaian ini terhadap apa yang saya dapatkan melalui
kutipan nasihat guru mulia Syekh Muhanna, bahwa ketika kita memahami sebuah
perkara yang di rasa masih dangkal hukumnya maka maqom kita
berada pada maqom mujahadah sedangkan ketika kita memahami
sebuah hukum dengan teks keagamaan yang sama dan kemudian bertentangan tapi
sembari kita merenunginya dan meresapinya maka maqom kita
berada pada maqom musyahadah.
Dalam hal pemahaman ayat an-Nisaa : 3 apabila
ketika kita berhenti sampai disana maka kita berada pada maqom
mujahadah, tetapi jika terus di lanjutkan pemahaman serta perenungan kita
hingga ayat an-Nisaa : 129 maka kita berada pada maqom
musyahadah.
Mengapa?
Karna jika kita terus resapi hingga ayat yang
kedua, maka kita akan mendapati sebuah hukum yang sangat dalam akan makna yang
tersirat yaitu sebagaimanapun kamu menjalani hidup dengan berpoligami dan
berkeinginan untuk adil diantara istri-istri kamu maka itu hanya menjadi sebuah
pengkhayalan yang sangat tidak memungkinkan karna sekali lagi bahwa kamu pasti
akan condong terhadap salah satu nya walaupun kamu ingin sekali bersikap adil
diantara mereka.
Jika sekalipun kita ingin menyandarkannya
sebagai teladan Rasul maka dari segi cara praktiknya pun Rasul menjalani hidup
berpoligami sangat sebentar waktunya jika dibandingkan ketika beliau menjalani
hidup bermonogaminya yang ketika itu hanya beristrikan Sayyidah Khadijah.
Maka apabila memang Rasul ingin menyerukan agar umatnya berpoligami pastilah
Rasul memberi teladan dengan menjalani hidup berpoligami lebih lama dibanding
dengan hidup bermonogami nya, dan perlu diingat juga jika memang Rasul pun
ingin manganjurkan praktik tersebut kepada umatnya pasti lah Rasul akan
mengizinkan Ali untuk memadu Fatimah, Karna pada faktanya justru Rasul
melarang Sayyidina Ali untuk memadu Anak perempuannya tersebut.
Pun disamping kritis nya agama dalam menyikapi hal ini, terdapat hak-hak
perempuan yang memang sangat tak terpenuhi dan menjadikannya tidak di hormati
seolah-olah perempuan hanya dijadikan sebuah objek pemuas nafsu semata.
Kemudian yang membuat perbincangan ini semakin
menarik adalah bahwa cara pandang tentang menyikapi permasalahan ini terdapat
beberapa pendapat mengenai praktik poligami yang ternyata adalah sebuah budaya
atau adat masyarakat terdahulu yang memang kerap mempunyai istri dua, tiga, dan
empat atau bahkan lebih. Maka ketika Islam datang, Islam berusaha untuk
mereduksi praktisi tersebut dan hanya membatasinya sampai empat istri saja
yang sebenarnya itu pun masih kurang karna sesungguhnya satu istri saja sudah cukup
untuk menjadi pendampimg hidup bagi setiap lelaki di dunia ini menurut
K.H Husein Muhammad.
Oleh Karna itu Prof.Quraish Shihab membagi
pandangan dalam bercampurnya agama dengan budaya/adat. Pertama bahwa
Islam menerima budaya/adat, kedua bahwa Islam merevisi budaya/adat, dan ketiga
bahwa Islam menolak budaya/adat. Maka hemat saya jika merujuk pada pendapat
yang dikemukakan oleh K.H Husein Muhammad sebelum nya bahwa praktik poligami
ini termasuk pada sikap yang kedua, yang mana agama hadir untuk menerima budaya
kemudian merevisinya agar dapat menjadi bagian dari produk yang sering kita
sebut dengan syariah. Karna terkadang terdapat kondisi-kondisi
tertentu yang selama budaya/adat tersebut tidak bertentangan dengan pokok-pokok
ajaran Islam maka itu bisa di adopsi menjadi sebuah hukum syariah.
Maka dengan ini Islam memang selalu menjadi agama fleksibel yang dapat menerima
bermacam keberagaman serta kemajemukan dalam keberagamaan.
Poligami sudah seperti menjadi trend yang
seolah-olah hanya menjadi bungkus kemasan Islam semata. Maka tidak heran jika
beberapa teman-teman kita dari agama lain memandang persoalan ini justru
membuat citra agama Islam seperi terlihat tidak mengajarkan arti kemanusiaan
itu sendiri. Rasanya Islam sekarang ini hanya selalu fokus dalam membahas soal
halal dan haram atau boleh dan tidak boleh yang sebenarnya makna Islam itu
sendiri sangat sempit jika hanya dipandang dari sudut pandang seperti
itu.
Teringat suatu kejadian dimana ketika itu
terdapat beberapa teman yang berdiskusi perihal salah satu isu yang sekarang
menjadi trend juga dan banyak di gandrungi oleh kalangan muda-mudi saat ini
yaitu nikah muda. Pada sebuah percakapan ada seseorang diantara kami yang
berpendapat bahwa sepertinya kebanyakan dari alasan para peminat nikah muda
adalah agar bisa terjauh dari perbuatan zina. Sontak seketika saya berfikir dan
mencoba mengingat kembali bahwa logika yang dipakai adalah soal perbandingan
antara nikah dan zina, yang kemudian seolah-olah berbicara
“Dari pada lu zina mendingan lu nikah aja!”
Kemudian saya berpendapat bahwa dalam fikaran orang
yang mempunyai pandangan tersebut mungkin mengartikan tujuan menikah itu hanya
sebatas untuk memenuhi kebutuhan biologis semata layaknya perbuatan zina.
Padahal di sisi lain banyak makna dan pelajaran yang lebih mendalam yang bisa
kita petik dari sebuah pernikahan, bukan hanya masalah kebutuhan biologis tapi
kehidupan yang akan di arungi hingga akhir hayat nanti. Ya begitulah jika hanya
beragama dengan sebatas modal semangat dalam melakukan hal-hal peribadatan
tanpa didasari keilmuan yang memumpuni.
Maka tidak aneh jika saat ini trend-trend
keagamaan semacam itu seolah-olah seperti gaya hidup baru yang ketika kita
belum melakukan nya dianggap tidak trendi.
Bagaimana tidak?
Sedangkan kampanye pergerakan keagamaan
seperti itu banyak di jual oleh ustadz-ustadz yang menjadi favorit muda-mudi
saat ini, sama hal nya ketika penilaian keislaman seseorang hanya dinilai dari
seberapa hitam jidat nya dia, seberapa panjang jenggot nya dia, seberapa
cingkrang gamis nya dia, atau juga seberapa islami perkataannya dalam bertutur
kata seperti mengucapkan akhi atau ukhti ataupun
bahasa Arab lainnya yang dianggap sudah sangat islami jika kita menggunakannya.
Dan terakhir saya ingin menyampaikan untuk menyudahi
membawa narasi-narasi yang bersifat keagamaan hanya untuk tujuan sesuatu yang
bersifat sementara. Karna sudah terlalu jauh agama selalu dijadikan bungkus
bagi mereka-mereka yang hanya ingin sekedar melampiaskan nafsu duniawi nya
saja, dan sudah terlalu lelah juga umat muslim di Indonesia ini selalu
mendapatkan doktrin-doktrin semacam itu sebagai asupan agama yang hanya menjadi
penyemangat dalam ritual peribadatan sehari-hari dengan tanpa bekal ilmu yang
sangat tidak memumpuni yang tolak ukurnya pun hanya sebatas hal yang fana yaitu
dunia.
Waallahu’alam bisshawwab
Kairo, 26 Desember 2019
Assalamualaikum kak, saya ingin mengetahui komentar dari kaka perihal salah satu keluarga di Indonesia yang mana suaminya beristri 9 bahkan seluruhnya hidup dalam satu atap ?
BalasHapus