Khilafah Yang Tak Butuh Singgasana Khalifah


  Menelaah realita yang ada bahwa negeri tanah air kita sedang mengalami pergolakan politik yang memanas terhitung semenjak terjadi kasus penistaan agama yang dilakukan oleh gubernur Jakarta, seakan membuat ummat merasa bahwa diri pribadi mereka masing masing di rangsang untuk membentuk pola pikir yang mengaharuskannya menjadikan hak suara politik mereka sebagai sebuah pertaruhan aqidah yang benar benar menentukan duel antara mereka yang dianggap anti islam dengan mereka sendiri yang menyemaatkan diri mereka sebagai orang orang islamis. Bahkan segilintir orang diantara mereka ada yang menggunakan situasi ini sebagai panggung politik agar dapat muncul ke permukaan, atau ada yang berusaha dari segelintir yang lainnya untuk menawarkan produk sistem baru atas nama sebuah agama.

                                                
  Semakin memanasnya sampai kepada puncak pesta demokrasi dalam ajang pilpres (Pemilihan Presiden) masih ada yang menggaungkan bahwa pertarungan ini adalah duel dengan mempertaruhkan aqidah, karna pasalnya bagi beberapa orang yang memang tidak sependapat dengan mereka yang lainnya selalu dicap sebagai anti islam dan dianggap tidak memihak terhadap ummat Islam, ah politik praktis.. Apalagi dengan situasi cawapres dari salah satu kubu adalah tokoh agama dari salah satu ormas islam ternama di Indonesia. Tak sampai hati melihat masyarakat yang sedang dalam situasi seperti ini, masih pula ada yang berusaha untuk menaiki panggung kembali setelah pergerakan nya di padamkan oleh pemerintah karna keberadaannya di anggap mengancam keutuhan NKRI, bagaimana tidak? Pasalnya mereka benar-benar ingin mengganti ideologi negara atas dalih sebuah nama agama dan mengubahnya dengan sistem yang dianggap sebagai jalan keluar satu-satunya untuk terlepas dari belenggu sistem demokrasi yang sekuler, demokrasi yang sekuler? .. Yakin..? Sedangkan mereka pun hingga sampai detik ini masih bisa mendapatkan hak-hak nya sebagai warna negara yang beragama dibawah naungan sistem yang mereka anggap sekuler ini, atau karna menganggap manusia-manusia yang bekerja untuk pemerintah tersebut banyak yang melanggar hukum-hukum yang mereka buat sendiri? Lantas jika mereka melanggar apakah sistemnya pula yang harus di ubah dan di salahkan?  Mengapa harus membuat kacang lupa dengan kulit cangkangnya? Jikalau begitu apabila ada yang melanggar hukum-hukum islam apakah harus islam juga yang diubah dan di salahkan?... Oh tentu tidak, karna Islam bukan produk manusia yang sangat hina dan selalu salah, lantas salah juga apabila harus mengadopsi sistem yang memang bukan dari islam itu sendiri?.. Ah sudahlah paling ujung-ujungnya golput..


Khilafah yang salah di maknai...


  Agar dapat sinkron dengan keadaan negara kita yang berdemokrasi ini mari kita refleksikan sejenak dan kembali ke masa dimana islam berada pada genggaman Rasulullah. Dalam agama islam untuk berpolitik sangat tidak masalah, tetapi akan bermasalah jika berpolitik dengan mengatas namakan agama. Karna peringatan Allah jelas dalam ayat-Nya yang berbunyi:
ولا تشتروا بايتي ثمنا قليلا
“Dan janganlah kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah”


  Dalam musnad Imam ahmad, disebutkan bahwa Rasulullah bersabda : “Khilafah sepeninggalku 30 tahun, kemudian menjadi kerajaan” (HR.Ahmad) . Ketika Rasul wafat pada bulan Rabi’ul awwal terhitung hingga masa pemerintahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib lama waktunya adalah 30 tahun kurang enam bulan karna Sayyidina Ali ketika itu wafat pada bulan Ramadhan, kemudian yang menggantikannya adalah putra beliau yaitu Sayiidina Hasan bin Ali yang pula memegang jabatan sebagai Khalifah hanya enam bulan dan kemudian menyerahkannya kepada Muawwiyah, maka bulatlah 30 tahun terhitung ketika Sayyidina Hasan bin Ali menyerahkan jabatannya sebagai khalifah pada bulan Rabi’ul awwal. Lalu sesuai apa yang disabdakan Rasul setelah masa khilafah yaitu masa kerajaan, bahkan Rasul menambahkan adudh yaitu kekuasaan yang menggigit terhitung dari berdirinya kerajaan Umayyah hingga kerajaan islam terakhir yaitu kerajaan Turki Utsmani dan berlanjut hingga kini dengan berdiri nya masing-masing negara dengan para pemimpinnya. Dalam hadist lain Nabi bersabda : “Masa setelah itu (setelah 30 tahun) kekuasaan berada di tangan para penguasa yang berbuat hal-hal yang kalian (para sahabat) ingkari. Kalian melihat mereka tidak teguh dalam mengikuti ajaran agama islam.” Mereka (para sahabat) bertanya “Apa yang engkau (Ya Rasulullah) perintahkan? Haruskah kami membuat khilafah baru, pemerintahan lain, dan berjuang untuk menyingkirkan mereka?” Nabi bersabda. “Kalian harus patuh dan taat (kepada pemimpin kalian).” (HR.Bukhari dan Ahmad) 


  Mari kita cermati, adakah Rasul memerintah kita “Memberontaklah kepada para penguasa, berjuanglah untuk mengganti mereka dengan orang-orang yang mirip dengan masa 30 tahun itu!” Tetapi Rasul berkata “Taatilah mereka!” Lalu sampai kapan kami menaatinya? Nabi bersabda “Sampai yang menjadi pemimpin kalian benar-benar kafir dan sudah tidak bisa di takwilkan lagi bahwa dia adalah seorang muslim.” (HR.Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Baihaqi)


Demokrasi...


  Maka setelah ini muncullah perbincangan demokrasi, bahwa sebenarnya dari mana demokrasi ini lahir dan bagaimana hukumnya jika di ambil menjadi produk yang di jalani oleh ummat muslim?


  Demokrasi berasal dari Yunani dan kemudian di alih kembangkan oleh kekaisaran romawi hingga sekarang yang banyak di pakai sebagai sistem kenegaraan oleh negara-negara Islam maupun nonislam seperti negara kita Indonesia. Sistem ini berdiri atas tiga unsur yaitu Sulthah, Asyura, dan Musawah, yang ternyata dari ketiga unsur ini semua merupakan asas dari berdirinya sebuah pemerintahan dalam Islam, pemimpin, bermusyawarah, dan persamaan semua ada dalam islam. Lantas bagaima hukum nya? Alfaqir ingin menganalogikannya dengan hukum bid’ah dan tasyabbuh, dalam kitab اتقان الصنعة في تحقيق معنى البدعة karangan Syeikh Abdullah bin Muhammad Shiddiq Al-Ghimari disebutkan bahwa makna bid’ah adalah ma khalafa ushulus syari’ah wa lam yuwaffik assunnah, bid’ah secara definisi adalah segala apapun yang bertentangan dengan asas syariah , begitupun makna tasyabbuh sebagaimana guru kami katakan maulana Syeikh ‘Ala Musthafa An-Naimah bahwa tasyabbuh itu dilarang jika memang bertentangan denga asas syariat dan agama. Maka tidak bisa kita menghukumi semua apapun yang bukan atau tidak berasal dari islam dengan hukuman haram. Jikalau sistem kenegaraan yang kita pakai sekarang (demokrasi) itu haram, apakah ulama-ulama kita yang dahulu memperjuangkan kemerdekan dengan nyawa sebagai taruhannya tidak mengerti soal ini? Dan dengan sembarangannya mereka (para ulama-ulama) meyetujui dengan penerapan sistem ini (demokrasi)? Lantas sama haramnya dengan judul dari tulisan ini yang di adaptasi dari judul tulisan Habib Umar bin Hafidz ?...



wallahu'alam bisshawab



Cairo, 11 Agustus 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Poligami Antara Adat Dan Syariat

Meneladani Jejak Para Wali Iskandariyah

Series Loki dalam Metafor Filsafat dan Agama