Salafi, Apakah Kita
Salaf di ambil dari Bahasa Arab yang bermakna orang-orang terdahulu ,dan Shalih di ambil dari Bahasa Arab pula yang berarti baik. Dan secara istilah makna dari salafus shalih adalah generasi atau orang-orang shalih terdahulu yang hidup dalam masa keemasan dan kejayaan Islam yaitu pada 3 abad pertama hijriah.
Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda:
خير القرون قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم (متفق عليه)
“Sebaik-baiknya masa adalah masaku, kemudian masa
setelahku, dan kemudian masa setelahku”(HR.Muslim)
Sedangkan salafi Adalah mereka yang mengikuti
genarasi salaf, maka dari itu kita semua adalah salafi dan itu harus diyakini
kebenarannya walaupun belakangan ini ada beberapa orang yang mengklaim bahwa
hanya sebagaian dari mereka sajalah yang salafi dan yang selain dari pada
mereka bukan salafi, bahkan tak banyak dari mereka yang tidak tahu akan arti
tentang salaf/salafi beserta dalilnya, ataupun dengan berdalih bahwa metode
salaf mereka ini adalah ajaran Islam yang murni seperti apa yang dibawakan oleh
Baginda Rasul dahulu, dengan memerangi perkara-perkara yang menurut mereka
adalah sebagai hal-hal baru dalam agama (bid’ah).
Dalam penisbatan nama ini alfaqir lebih
setuju jika mereka disebut sebagai wahabi dibandingkan dengan nama salafi,
karna jikalau mereka semakin masyhur dengan sebutan nama tersebut akan menjadi
sebuah kebanggaan tersendri bagi mereka karna semakin yakinlah hanya mereka
saja yang salafi dan yang lain tidak. Adapun nama dari wahabi adalah nama yang
dinisbatkan kepada pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab yang mana penisbatan nama
ini secara terang-terangan diberikan oleh saudara kandungnya sendiri yaitu
Sulaiman bin Abdul Wahhab. Dia menuliskan buku yang berjudul "الصواعق الالهية في رد علي الوهابية"
yang berisi tentang penolakan ajaran yang dibawa oleh saudara kandungnya itu,
hanya karna nama itu sudah terlalu ekstrim di dengar bergantilah mereka dari
nama wahhabi ini menjadi salafi. Adapun Mereka yang menolak untuk disebut
Wahhabi dikarnakan secara penisbatan nama maka mereka berdalih jikalau memang
dinisbatkan kepada pengikut Muhammad Bin Abdul Wahhab seharusnya untuk
penisbatan nama itu bukanlah Wahhabi tetapi menjadi Muhammadi, karna nama abdul
Wahhab itu adalah nama ayahnya sedangkan nama nya ialah Muhammad.
Mari kita bahas bersama.
Dalam faham keagamaan di bidang ilmu fiqh
masyarakat Indonesia mayoritas menganut madzhab Imam Syafi’i, dan mereka
menisbatkan secara dzhahir sebagai Syafiiyyah (pengikut Imam Syafi’i).
Alfaqir sebagai seorang pengikut madzhab Syafi’i ingin mengungkapkan bahwa nama
asli Imam Syafi’I itu bukan nama Syafi’i itu sendiri, melainkan adalah
Muhammad Bin Idris Bin Abbas Bin Utsman Bin Syafii. Jadi penisbatan nama atas
pengikut seseorang tidak harus dinisbatkan atas nama dirinya, karna nama
penisbatan untuk para pengikut Imam Syafii pun diambil dari nama datuknya
beliau yang keempat.
Bahkan belakangan ini ramai dari mereka
mempersoalkan tentang Allah itu bertempat di atas langit dan mempersoalkan
bahwa ibunda dan ayahanda Baginda Nabi Shalallahu’alaihi wasalam kafir dan
berada di neraka jahannam. Jikalau mereka mempermasalahkan hal seperti tahlil,
maulid, ziarah, atau tawassul kepada orang-orang shalih itu hanyalah masalah
perbedaan hal furu’iyyah dalam ilmu fiqih, berbeda dengan jika mereka sudah
berani memahami sifat Allah dalam bertempat yaitu berada di atas langit yang
mana menjadi masalah dalam hal aqidah karna Allah itu munazahun ‘anil makan yaitu
suci dari segala tempat maka dari itu Allah tidak membutuhkan kepada sesuatu
yang seperti hal nya dengan makhluk, dan apalagi jika sudah meyakini bahwa
kedua orang tua baginda adalah kafir dan masuk kedalam neraka jahannam yang
mana bertentang dengan keadaaan dan kondisi kita yang sejak kecil telah
diajarkan tentang kecintaan kepada kedua orang tua baginda dan merekalah
yang kita yakini sebagai ahlu fatroh yang tidak akan Allah adzab dan Allah
hisab, naudzubillah tsumma naudzubillah.
Dari sini kita sadari bersama akan
pentingnya bersanad dalam segala aspek keilmuan agama , dan agarnya selalu
berhati-hati dalam menerima ataupun memahami ilmu agama karna mengingat kian
ramainya dengan kondisi saat ini akan berbagai aliran-aliran baru yang
bermunculan dalam agama Islam. Yakini dan percayai kepada para masyaikh
(kiyai-kyai) dan para asatidz (ustadz-ustadz) yang mengajari kita sejak
kecil atau kepada mereka yang berpegang teguh dalam madzhab fiqih kepada Imam
Syafi’i. Karna bagaimanapun jikalau kita berguru kepada satu orang guru yang
berpegang teguh kepada madzhab Syafi’i pasti apa yang dia ajarkan kepada kita
adalah apa yang di ajarkan gurunya kepadanya dan begitupula seterusnya hingga
muttasil dari gurunya dari gurunya dan dari gurunya sampai kepada Imam Syafi’i,
dan dari sini pun tidak terputus atas sanad keilmuannya karna Imam Syafi’i
belajar dari gurunya yaitu Imam Malik,dan Imam malik belajar dari gurunya yaitu
Imam Nafi’,dan Imam Nafi’ belajar dari guru nya yaitu Ibnu Umar ra, dan Ibnu
Umar ra langsung mendapatkannya dari Rasulullah shallahu’alaihi wassalam, karna
Ibnu Umar berada dan bersama Rasul di kala beliau hidup hingga akhir hayatnya.
Dan bahkan tidak hanya cukup sampai disana, karna ternyata guru dari Imam
Syafi’i tidak hanya satu yaitu Imam Malik saja, tetapi terdapat guru-guru nya
yang lain seperti, Imam Waki’i , Imam Laist, Imam Muslim bin Khalid dan
lain-lain, maka rantai sanadnya pun terus menyambung hingga Rasul
sebagaimana rantai sanad yang telah disampaikan sebelumnya. Dan inilah salaf,
mereka adalah salaf yang kita ikuti dalam sanad beragama, dan begitu pula
dengan kita, bahwa kitapun adalah salafi atau pengikut mereka yaitu para
salafus shalih.
Wallahua’lam bil muradih.
Cairo, 4 januari 2018
Komentar
Posting Komentar