Dekonstruksi Konsep Ijazah
Dua perkara yang hanya ada di dalam agama Islam yang
selalu di jaga kemurnian dan kesucian nya yaitu nasab, dan sanad.
Nasab adalah nisbat secara
keturunan dari jihad bapak bin fulan bin fulan bin fulan hingga seterusnya.
Maka dengan inilah keluarga ahlu bait Rasulullah sangat terpelihara dan jelas
silsilah keturunan nya hingga sampai saat ini.
Sanad adalah validalitas dan
otentifikasi silsilah akan tentang semua jenis keilmuan dari siapa
berkata dan kepada siapa dia mengatakan. Dengan inilah mengapa kita hingga
sampai saat ini bisa mengetahui sebuah hadist dari segi riwayah mana
yang shahih mana yang dhaif dan mana
yang maudhu’ (palsu) tergantung kepada siapa hadist tersebut
tersandarkan secara pensanadan nya.
Analogi sederhananya seperti jika kita
mempelajari suatu bidang ilmu tertentu seperti ilmu fikih misalnya, dan dari
ilmu fikih ini kita tahu bahwa ilmu tersebut tersebar dan terbagi menjadi
4 madzhab yang populer. Seperti contoh dari salah satu madzhab yang madzhab-nya
mayoritas di anut oleh masyarakat indonesia yaitu madzhab imam
syafie’, maka untuk mengetahui sanad keilmuan imam syafie’ kita harus tahu imam
syafie’ itu belajar atau berguru kepada siapa? Contoh nya guru guru beliau yang
sangat masyhur dan terkenal seperti Imam laits, imam malik, sayyidah nafisah
dan imam waki'.
Kita ambil contoh dari salah satu guru beliau
yaitu imam malik. Imam syafie’ ini belajar kepada gurunya yaitu imam malik dan
imam malik mengajarkan apa yang beliau ajarkan kepada imam syafie’ pasti sesuai
dengan apa yang di ajarkan gurunya yaitu imam nafi' dan imam nafi pun begitu
mengajarkan imam malik pasti sesuai dengan apa yang guru beliau sampaikan yaitu
ibnu umar dan ibnu umar mengajarkan nya sesuai apa yang beliau dapatkan
langsung dari Rasulullah SAW dan jalur sanad ini banyak di nilai oleh mayoritas
ulama hadist sebagai silsilah dzahabiyah, dan begitulah seterusnya
dari guru beliau yang lain seperti imam laits, imam waki' dan sayyidah nafisah,
mereka semua mengajarkan dari gurunya dari gurunya dan dari gurunya hingga
Rasul.
Ini adalah sebuah konsep peng-ijazahan secara
kultural yang memang sudah mengakar dan terjaga dari setiap generasi ke
generasi, konsep semacam ini bisa kita temukan di beberapa lingkungan yang
memang masih sangat menjaga tradisi ini, sebutlah terdapat di beberapa lembaga
pesantren di Indonesia yang berbasis terhadap fokusnya mengkaji sebuah disiplin
ilmu tertentu secara iltiqo ruh wa jasad di dalam sebuah
majelis .
Konsep ini selalu memperhatikan dari sisi
pertemuan antara seorang murid terhadap guru nya, Karna dasar awal nya adalah
bagaimana agar murid tersebut bisa menjadi pewakil dan pewaris sanad keilmuan
melanjutkan gurunya melalu jalur sanad gurunya tersebut, Karna
secara kapabilitas seandainya ada seseorang yang meminta pertanggung jawaban
atas kevalidan tentang keyakinan apa yang di sampaikan itu benar atau tidak
maka murid tersebut hanya tinggal menyebutkan bahwa apa yang dia sampainya
sesuai apa yang disampaikan gurunya dan gurunya dari gurunya.
Tetapi dewasa ini dengan sangat begitu pesat
perkembangan era dimana sekarang kita bisa belajar melalu apapun dan dimanapun,
rasanya dalam konsep ijazah ini kita harus bersepakat terlebih dahulu bahwa
kita hanya bisa mewakilkan guru kita dalam memberikan sebuah pernyataan jikalau
secara jasad kita sudah benar-benar bertemu atau bertatap muka dalam suatu
kelas atau majelis. Maka tanda valid nya suatu ilmu itu hanya bisa didapat
dalam proses pertemuan jasad antara murid dan guru. Dan dalam proses tersebut
bisa terjadi hanya dalam dua keadaan yaitu saat jam kelas/kuliah atau saat
kegiatan pengajian di dalam suatu majelis dengan membahas kitab langsung
bersama seorang guru. Maka sesuai pemaparan diatas ini mungkin kita bisa
membagi bentuk konsep ijazah ini menjadi dua kategori yaitu ijazah formal dan
ijazah kultural.
Pada konsep ijazah formal seseorang bisa
dikatakan telah mendapatkan ijazah seandainya dia sudah mendapatkan
otentifikasi dalam sebuah pengukuhan dari prosesi wisuda seorang sarjana yang
didapati dari lembaga pendidikan formal yang dia tempuh, berbeda dengan konsep
ijazahan kultural yang hanya memfokuskan pada pertemuan antara dua jasad dalam
satu majelis yaitu murid dan guru.
Wacana muncul disaat era sudah semakin
berkembang, dengan canggih nya teknologi kita bisa bertatap muka dengan
siapapun melalu internet. Kemudian muncul pertanyaan, apakah belajar melalui
internet itu diperbolehkan? Dari sini pertanyaan justru bukan diperbolehkan
atau tidak tetapi apakah sudah merasa terwakil kan atau tidak dalam hal
pertemuan antara kita dengan guru tersebut? Karna bagaimana pun pertanyaan
tentang masalah boleh atau tidak untuk belajar itu sangat tidak relevan dengan
konteks bahasan yang sedang kita bicarakan, Karna untuk belajar tidak ada kata
tidak boleh dalam bentuk keadaan apapun dan kepada siapapun kecuali jika kita
sampai pada titik dimana dengan belajar kita merasa nyawa kita terancam. Maka
kembali ke topik tadi bahwa terwakil kan atau tidak nya mungkin untuk jawaban
secara awam saja pasti mayoritas berpendapat ragu untuk bilang terwakil kan
karna bagaimana pun secara kasat mata lahiriah kita tidak benar-benar bertemu
dengan seorang guru di dalam suatu majelis ilmu.
Maka disini lah penting nya umat Islam untuk
tergugah belajar dan bertemu langsung dengan seorang guru pada sebuah majelis
ilmu tertentu baik itu secara formal akademis maupun non formal akademis
walaupun dalam saat yang sama kita sangat terbawa dan merasakan kuat nya arus
teknologi dengan pengaksesan segala sesuatu yang tersebar sampai kepelosok negeri.
Lebih bahaya nya adalah jika sudah banyak yang berani berkata-kata atau membuat
sebuah pernyataan akan suatu hal padahal dia tidak secara benar-benar mempunyai
kewenangan secara validalitas atau ijazah untuk bisa menyampaikan sesuatu
tersebut ditambah lagi yang di bicarakan nya adalah perkara agama.
Teringat perkataan Syeikh Musthafa Ridha dalam
salah atu majelis nya “man laisa lahu tsabat laisa lahu nabat” bahwa
benar perkara ilmu agama hanya bisa didapat kan dengan kita berdiam di suatu
majelis di bawah kaki para ulama-ulama.
Dan kami di Al-Azhar sangat bersyukur masih
bisa merasakan nikmat nya berada dalam lingkungan yang masih mempertahan
kulturisasi dengan konsep peng-ijazahan nya seperti yang telah banyak
ulama-ulama islam contoh kan selama ini, sekaligus dalam menempuh pendidikan
modern nya dengan konsep peng-ijazahan menggunakan metode formal, kedua nya
sama hanya saja perbedaan nya jika ijazah formal di berikan kepada mereka yang
menempuh jalur pendidikan melalu kuliah sedangkan ijazah kultural di berikan
kepada mereka yang selalu ikut hadir dalam setiap majelis ilmu dari para ulama
di masjid-masjid nya.
Waallahu’alam bishawwab
Alhamdulillah bi ni’matil Azhar
Kairo, 18 Juli 2019
Komentar
Posting Komentar