Kontemplasi Penerapan Hukum Syariat Islam Di Indonesia
Wacana dari isu tentang korelasi antara hidup
bernegara sekaligus beragama bukanlah isu baru yang hangat di perbincangkan
oleh para pemikir-pemikir Islam. Ini sudah menjadi santapan bagi mereka
yang sering dipertanyakan atas kredibilitas nya sebagai seseorang yang belajar
agama Islam lebih dalam lalu berpartisipasi atau terlibat dalam pergolakan
dunia politik Indonesia yang bisa di bilang masih setengah-setengah dalam
menganut sistem demokrasi.
Berbicara mengenai demokrasi kiranya wacana
ini selalu menarik untuk dibahas dalam ruang lingkup negara kita yang
bermasyarakat Muslim secara mayoritas. karna sesuai catatan sejarah sistem ini
lahir dari tangan-tangan yang secara teologi berseberangan dengan kaum
Muslim.
Lantas bagaimana jika sebuah komunitas
mengadopsi sistem yang bukan dari kalangan mereka? Terhitung mayoritas
negara-negara timur tengah pun menganut sistem ini. Lalu apakah mereka semua
menanggung dosanya karna terkena semprot hadist yang sering di lontarkan oleh
para ekstrimis kanan yang berbunyi :
“Faman tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum”
Ya begitulah jika terlalu banyak pemonopolian ayat
ayat Tuhan demi melancarkan ambisi politik kekuasaan nya.
Contoh kongkrit adalah negara Libya yang
sekarang menjadi negara gagal Karna masyarakat nya tergoda dengan tipu muslihat
mereka yang menjanjikan kemenangan atas nama kedaulatan Tuhan, dan lagi-lagi
agama tergadaikan oleh urusan duniawi “wa ma alhayatu ad dunya illa
la’ibun wa allahwun” begitulah penggalan ayat yang setidaknya memberitakan
kepada manusia bahwa dunia hanya sesaat dan hanya akhirat yang kekal abadi
selama-lamanya. Tetapi dewasa ini yang menjadi perhatian adalah mereka semua
berdalih bahwa pemonopolian janji Tuhan ini dilakukan atas dasar
kesadaran beragama dan sebagai pahala jihad yang tertulis
kelak di akhirat nanti.
Seharusnya sejarah lagi-lagi menjadi pelajaran
terpenting dan renungan bagi siapa saja yang sudah terlanjur terbuai oleh
kepentingan kekuasaan suatu kelompok terntentu yang di bungkus dengan narasi
narasi agama dan mengatasnamakan umat muslim ini. Bukan kah dahulu ketika Sayyidina Ali
bin Abi Thalib dilengserkan secara paksa oleh kaum khawarij menggunakan
ayat Tuhan? Penggalan kata sang khalifah yang sangat dikenal
sampai saat ini adalah kalimat al haqq urida biha al bathil “Ya
kata kata kamu indah menggunakan kalam illahi tapi kau
menggunakan ayat tersebut hanya untuk kepentingan busuk mu semata” begitulah
ucap sang lelaki yang dijanjiakannya surga tanpa hisab.
Maju lebih jauh lagi, sejarah kembali memberi
pembelajaran atas kasus Arab Spring yang menimpa negara-negara
timur tengah termasuk runtuhnya negara Libya yang sudah kita sebutkan
sebelumnya. Maka apapun itu sejarah tidak akan pernah berbohong mengenai tragedi
berdarah kemanusiaan yang melibatkan pemonopolian ayat ayat Tuhan.
Ayat-ayat seperti “inni al hukmu illa
lillah” atau “wa man lam yahkum bima anzala Allah fa’ulaikahum al
kafirun” kerap kali menjadi dalil atas mutlak nya penerapan hukum syariat
Islam. Yang padahal pada hakikatnya itu hanyalah sebagian dari perbedaan atas
reinterpretasi terhadap sebuah ayat, maka jangan jadikan ayat suci itu sebagai
momok yang menyeramkan untuk mengancam bagi siapa saja yang tidak berhukum
selain hukum Islam, Karna dikhawatirkan dapat dijadikan sebuah poin bagi
orang-orang awam untuk berfikir bahwa barang siapa yang tidak berhukum selain
hukum Islam maka darah nya halal untuk di tumpahkan.
Maka disinilah penting nya untuk terus belajar
agar tidak jumud dalam berfikir dan terus-menerus termakan
dengan doktrin keras mengatasnamakan agama yang tidak mendasar atau yang justru
malah terdapat tafshiran-tafshiran lain.
Dalam Tafshir mafatih al
gha’ib karya imam Ar-razi dijelaskan bahwa Tafshir atas
dua ayat yang disebutkan diatas adalah tidak mutlak bahwa setiap negara-negara
muslim untuk bisa menerapkan hukum syariat secara sempurna.
Jika hanya memang bisa dengan setengah nya ataupun sampai seperempatnya saja
pun itu tidak apa-apa karna seiring berkembangnya zaman ada beberapa faktor
yang menyebabkan kita tidak bisa menerapkan secara sempurna akan hukum-hukum
tersebut. Adapun penisbatan kata
kafir itu adalah
bagi dia yang menolak secara mutlak akan hukum-hukum yang Tuhan turunkan, dan
sampai disini saya sendiri pun yakin sebagai seorang muslim tidak akan ada sama
sekali yang menolak mutlak hukum yang Tuhan syariat kan melalu
Nabi saw. Hanya saja jika dalam hal penerapan disana bisa terdapat kondisi-kondisi
tertentu bagi negara-negara muslim yang tidak bisa menerapkannya secara kaffah
dikarenakan situasi dan kondisi keadaan mereka.
Sesuai dawuh para
pemikir-pemikir muslim bahwa ketidak sempurnaannya sesuatu bukan berarti kita
harus meninggalkan semuanya. Maka dalam sistem demokrasi saat ini para pejuang
politisi Islam yang berangkat melalui partai politik mereka berjuang di meja
dewan sedikit demi sedikit terus merangkak mengajukan beberapa undang-undang
yang mendukung penerapan hukum Islam, walau tidak secara mutlak, minimal
nilai-nilai nya sama dengan nafas perjuangan Islam. Mari kita merawat demokrasi
ini dengan berjuang didalam nya bukan menjadi sebuah parasit yang hanya
memanfaatkan demokrasi yang sewaktu-waktu malah menghancurkan tubuh demokrasi
itu sendiri.
Berangkat dari permasalahan ini seharusnya
bisa menjadikan kita sebagai seorang manusia yang bisa memakmurkan bumi dengan
hidup didalam negara yang merawat kemajemukan sekaligus menjadi seorang muslim
didalamnya. Tak ada yang sempurna di dunia ini Karna pada hakikat nya kita
hanya berusaha untuk terus bisa menjadi lebih baik dan lebih baik.
Terakhir mungkin saya ingin menyampaikan bahwa
kitab suci Al-Qur’an di awali dengan sebuah diksi yang bersifat universal “rabbi
al alamin” Tuhan semesta alam bukan rabbi al mu’minin ataupun rabbi
al kafirin, dan ditutup pula menggunakan diksi yang bersifat
universal ilahi an nas bukan ilahi al musyrikin atau ilahi kelompok
tertentu saja.
Maka marilah kita sama-sama merawat Indonesia
yang bentuk nya sudah sesuai dengan nafas perjuangan Islam seperti NU
menyepakati nya sebagai dar assalam ataupun sesuai
penyepakatan Muhammadiyah sebagai dar al ‘ahdi wa as syahadah. Kita
sudah bersepakat bermajemuk dalam satu kesatuan dan bersatu dalam kemajemukan.
Wallahu’alam bi as shawab
Kairo, 7 Agustus 2019
Komentar
Posting Komentar