Relevansi Kitab Suci Terdahulu
Deskriptif 1
Sebuah cerita yang disampaikan oleh salah satu rekan saya disini ketika dalam perjalanan menuju salah satu majelis di daerah muqattom, beliau bercerita perihal tentang satu kejadian yang sampai detik ini tidak saya lupakan.
Sebuah cerita yang disampaikan oleh salah satu rekan saya disini ketika dalam perjalanan menuju salah satu majelis di daerah muqattom, beliau bercerita perihal tentang satu kejadian yang sampai detik ini tidak saya lupakan.
Dalam salah satu kitab ada riwayat yang menceritakan sebuah kisah tentang pertemuan antara pemimpin kekaisaran Romawi Muqauqis dan Amru bin ‘ash.
Pemimpin kekaisaran Romawi tersebut datang dengan sengaja menemui Amru bin ‘ash untuk bernegosiasi tentang
pembelian tanah muqattom. Setelah pertemuan selesai Amru bin ‘ash langsung
memberitahu sayyidina Umar bin Khattab sebagai khalifah saat itu tentang apa
yang baru saja terjadi.
Hal pertama dikatakan oleh
amirul mukminin ketika itu adalah agar sayyidina Amru bin ‘ash menanyakan
kembali alasan dari pemimpin kekaisaran Romawi tersebut mengapa ingin membeli
tanah muqattom?! Tak lama setelah itu sayyidina Amru bin ‘ash pun kembali menemuinya
dan menanyakan alasan tentang pembelian tanah tersebut sesuai perintah dari
sang khalifah. Kemudian dia menjawab bahwa keinginannya untuk
membeli tanah muqattom adalah Karna tanah tersebut tertulis di dalam kitab
sucinya, bahwasanya disana akan menjadi tempat disemayamkannya para penghuni
ahli surga.
Kemudian sayyidina ‘Amru bin
‘ash pun kembali melaporkan apa yang dia dapatkan kepada sang khalifah. Ketika
mendengar alasan tersebut khalifah Umar bin khattab menginstruksikan agar tidak
menjual tanah muqottom dengan alasan sebagaimana yang disampaikan oleh pemimpin kekaisaran Romawi tersebut karna tanah itu akan menjadi tempat para ahli surga
dimakamkan. (baca : Abu Al-Qasim Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakam, Mashr wa Akhbaruha)
Sayyidina Umar bin khattab
sebagai seorang khalifah ketika itu yang juga adalah seorang sahabat Rasulullah
tidaklah membuat sembarang keputusan. Terbukti bahwa disaat ini dimakamkannya ulama-ulama ternama disana seperti Sayyidina Ibnu ‘athaillah, Syekh ‘Asyraf
(wali shagir), Imam Qusyairi dan konon bahwa komplek pemakaman yang terletak di
depan Masyikhah Al-Azhar saat ini atau yang sering juga di sebut sebagai
Qarafah kubra masih menjadi bagian wilayah dari tanah muqottom, yang disana rata-rata menjadi tempat pemakaman semua ulama-ulama dan mantan grand
syekh Al-Azhar, maka bukanlah suatu alasan yang tak mendasar ketika Umar bin
khattab memutuskan untuk tidak menjual tanah tersebut hanya karna mendengar
bahwa tanah itu disebutkan dalam kitab suci agama lain, lebih dari itu bahwa
sang Khalifah merasakan akan kebenaran kabar yang datang dari kitab yang pernah
turun dari sumber yang sama dengan kitab suci agama Islam yaitu Al-Qur’an.
Deskriptif 2
Umat manusia di alam raya ini
tidak ada yang tidak mengetahui tentang sosok Adam dan Hawa, mereka berdua yang
selalu di sebut-sebut oleh umat beragama sebagai nenek moyang bagi para umat
manusia, layak nya Ibrahim yang di anggap sebagai bapak para nabi bagi 3 Agama
besar yang lahir dari keturunannya.
Tapi ingatkah bahwa kita
sering mendengar tentang cerita penciptaan Hawa yang berasal dari tulang rusuk
Adam? Benarkah? Dan berasal dari mana cerita tersebut?
Dalam salah satu bukunya Prof.
Quraish Shihab pernah menjelaskan terkait hal ini, beliau berkata dengan
mengutip perkataan Muhammad Abduh dalam Tafshir nya yang sedang menjelaskan
tentang cerita Adam dan Hawa.
Muhammad Abduh berkata
bahwasanya cerita tentang penciptaan Hawa yang berasal dari tulang rusuk nabi
Adam bukanlah bersumber dari Al-Qur’an, melainkan dari kitab-kitab terdahulu.
Abduh melanjutkan dengan berkata jikalau bukan karna kitab-kitab terdahulu
(sebelum Al-Qur’an) niscaya umat manusia tidak akan mengetahui tentang asal-muasal penciptaan Hawa yang berasal dari tulang tulang rusuk sang Adam. ( baca : Prof M. Quraish Shihab, Islam yang disalah pahami)
Deskriptif 3
Dalam salah satu instrument
penunjang ketika menafsirkan Al-Qur’an terdapat sebuah bidang ilmu yang bernama
‘ulum Al-Qur’an, bidang ilmu tersebut menjadi mata kuliah wajib bagi para
mahasiswa fakultas Ushuluddin di Universitas Al-Azhar sekaligus sebagai pengantar dalam
memasuki dunia penafshiran Al-Qur’an, walau sebetulnya dewasa ini sedang ramai
sekali beberapa sarjana muslim bahkan lembaga-lembaga atau universitas yang
berbasis Islam ketika menafshirkan Al-Qur’an tidak berpegang kepada ilmu
tersebut melainkan berpegang kepada salah satu jenis filsafat yang mempelajari
tentang interpretasi makna yang biasa digunakan untuk menafshirkan Injil
(hermeneutika baca :https://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika )
Terlepas dari semua itu saya
akan berbicara dalam kapasitas bidang yang saya pelajari disini yaitu ‘ulum Al-Qur’an, sesuai
dengan kondisi pribadi yang menggunakan bidang ilmu tersebut dalam pengantar
penafshiran Al-Qur’an.
Perlu diketahui bahwa dalam
Al-Qur’an terdapat surat yang berisikan tentang ayat-ayat. Ayat-ayat ini
(sesuai kesepakatan ulama) terdapat macam atau jenis yang dari setiapnya
mempunyai nilai reinterpretasi masing-masing dalam penafshirannya.
Terdapat ayat-ayat Muhkamat yang sering dijadikan pedoman atau sandaran bagi
para mutakalim (teolog-teolog muslim) dalam berkeyakinan mensucikan Allah
SWT, ada juga ayat-ayat mutasyabihat (samar-samar maknanya), dan masih banyak
lagi, termasuk salah satunya jenis ayat-ayat mubhamat yang dalam kesempatan ini saya akan
membahas tentang jenis ayat tersebut sehubung dengan hangatnya ingatan yang
membekas sedikit dari sisa-sisa hafalan ujian semester kemarin.
Ayat-ayat mubhamat dalam
pengertian terminologi nya adalah penggalan-penggalan kata dalam sebuah ayat
yang disana Allah tidak menyebutkan secara spesifik terhadap siapa penggalan
ayat tersebut ditujukan, meliputi nama-nama nabi, atau wali hingga nama sesuatu
tempat, dan nama binatang (baca : Alhafidz Jalaluddin Abdurrahman As-Syuti, Al-Itqan Fii Ulum Al-Qur'an dengan penjelasan dari diktat kuliah, penyusun Dr. Ibrahim Tufiq, Dr. Muhammad Hamid, Dr. Sa'ad Abdul Majid, Dr. Husein Abdul Hamid, Dr. Husein As-Syirbini, Dr Abdurrahman As-Sayyid Abdullah, Dr. Wasim Muhammad, Ulum Al-Qur'an Al-Karim lii alfirqah as-staniyah kulliyyat ushuluddin wa al-aqsam al-munadarah fii kulliyyat al-jami'ah). Masih hangat sekali ingatan akan salah satu
pertemuan saya di kuliah ketika menghadiri salah satu mata kuliah tentang ini,
salah satu dari rekan kami bertanya kepada dosen ketika itu yang baru saja
selesai menjelaskan ayat mubham dari penggalan kata pada sebuah ayat إذ قالوا لنبي لهم bahwa penggalan
kata نبي disana ditunjukkan oleh
pemuka Bani Isra'il kala itu kepada (ada yang berkata kepada Samuel, ada yang
berkata kepada Sam’un, ada pula yang berkata kepada Yusya’). Kemudian rekan
kami tersebut bertanya dari mana para ulama mengetahui tentang nama-nama
tersebut? sedangkan didalam Al-Qur’an sendiri tidak secara eksplisit
menyebutkan tentang nama-nama itu? Dosen kami menjawab bahwa para ulama
mengetahui dari ayat-ayat Israilliyat yang terdapat pada kitab-kitab terdahulu
(baca : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Israiliyat),
pun sama hal nya dengan ayat-ayat yang lain nya seperti contoh salah satu pada sebuah penggalan ayat ألأسباط yang
adalah anak-anak dari nabi Ya’qub As, tapi apakah Al-Qur’an secara spesifik
menyebutkan siapa saja anak-anak nabi Ya’qub tersebut? Tentu saja tidak, Karna
itu pula mengapa ayat ini disebut dengan ayat mubham. Maka siapakah anak-anak
nabi Ya’qub tersebut? Lagi-lagi terdapat pada ayat-ayat israilliyat yang
menjelaskan ke-12 anak-anak nabi Ya’qub itu, yang adalah Yusuf, Rubil, Sam’un,
Lawa, Yahudza, Dan, Naftali, Kad, Yasyir, Isyajir, Riyalun, dan Bennyamin. (baca : Alhafidz Jalaluddin Abdurrahman As-Syuti, Al-Itqan Fii Ulum Al-Qur'an)
Penutup
Tidak berarti ketika seseorang
membicarakan perempuan lain lantas dia lupa atau bahkan merendahkan perempuan
yang dia miliki.
Maka dari semua perkataan
ataupun cerita2 saya sebelumnya tidak ada niatan atau maksud sekecil apapun
untuk menurunkan derajat keagungan dan kesempurnaan Al-Qur’an.
Sesuai yang sudah sangat kita
sepakati dan percayai sebagai seorang muslim bahwa Al-Qur’an hadir untuk
melengkapi dan menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya begitu pula dengan ajaran
Islam yang menjadi penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya.
Justru ketika kita memahami
apa itu menyempurnakan pasti sangat tersirat dalam benak kita tentang
kepingan-kepingan baru yang menjadi pelengkap dari kepingan-kepingan lama, Maka
wajar saja jika ada beberapa hal dalam kepingan baru tersebut yang tidak mencantumkan
atau bahkan menuliskan seperti apa yang ada pada kepingan yang sudah lebih dulu
ada, tetapi ada beberapa pengecualian, seperti hal-hal tentang tauhid dan
syari’at, bahwa dalam hal ini kepingan-kepingan lama tersebut dalam otoritas
tauhid dan syari’at nya sudah otomatis terhapus dan tergantikan oleh apa yang
datang sebagai penyempurnanya yaitu Al-Qur’an.
Tetapi walau seperti itu tidak
berarti kita juga harus menutup pintu relevansitifitas dari korelasi antara
penggalan ayat-ayat dalam kitab-kitab terdahulu dengan penggalan ayat-ayat
kitab Al-Qur’an kita sekarang, kalaupun jika sudah tidak relevan kita bisa
mengambil hikmah dari apa yang tercantum dalam kitab-kitab sebelumnya. Karna
perlu disampaikan kembali bahwa hikmah adalah sesuatu yang hilang dari orang
mukmin maka carilah hikmah itu dimanapun ia berada.
Wallahu'alam bisshawab
Cairo, 30 Januari 2020
Komentar
Posting Komentar