Antara Akal Dan Wahyu 2



 Pada tulisan sebelumnya, dalam judul yang sama kita telah mengetahui bahwa dalam tubuh manusia terdapat dua elemen penting yang dituntut agar dapat seimbang diantara keduanya guna menjaga eksistensi keutuhan kemanusiaan manusia itu sendiri. 


 Untuk kali ini kita akan membahas lanjutan dari kesepakatan kita bersama, bahwa terdapat beberapa kondisi dimana akal tidak bisa menjangkau hal-hal yang lebih dari sebuah wahyu. Bagaikan sepasang kekasih yang berbahagia setelah berpisah jauh kemudian berbalas rindu dalam suatu pertemuan, mungkin begitulah perasaan saya yang tergambar ketika dapat menulis beberapa kalimat tentang tema kali ini. 


Mengapa? 

 Jujur kecenderungan saya pribadi ketika memutuskan untuk memilih materi pada bidang aqidah sebagai jenjang keseriusan saya di dalam dunia akademik adalah berawal dari keresahan akan beberapa kondisi dalam bermasyrakat khususnya dalam hal ini masyarakat muslim akan keringnya asupan yang tidak cukup tentang materi ini, beberapa ada yang mungkin masih berfikir kritis dan beberapa sebagian berfikir dinamis dengan mengikuti alur tanpa bertanya apa dan mengapa alasannya hal tersebut dapat berlaku seperti itu. 


 Kita sering kali sebagai awam mendapati beberapa hal kejanggalan akan metode ritual ataupun non ritual yang kadang terasa tidak dapat secara penuh di terima oleh akal sehat. Sebutlah contoh dalam hal ritual mengapa shalat subuh hanya 2 rakaat, mengapa haji dilaksanakan pada bulan dzulhijjah


 Tapi mungkin bukan ini sasaran materi yang akan kita bahas, dari sini kita bisa berhenti berdebat tentang hal itu, karna ulama mayoritas bersepakat tidak ada ruang untuk bertanya apa dan mengapa dalam hal peribadatan ritual. Maka ijinkanlah saya untuk membahas dalam kesempatan ini tentang sebuah pembahasan yang dimana terdapat ketidakselarasannya antara akal manusia dengan wahyu Tuhan akan hal-hal peribadatan non ritual, karna kita mencari ketidakseimbangan diantaranya yang dalam hal ini kita masih bisa berdebat disana, seperti “Benarkah tuhan itu ada?” “Apakah benar Muhammad itu seorang nabi utusan?” “Adakah surga dan neraka?” dan lain-lain.


 Dalam teologi muslim terdapat beberapa klasifikasi penisbatan nama terhadap ulama sesuai dengan bidang yang ditekuni nya masing-masing. Seperti mufashir, mutakallim, muhadits, dan lain sebagainya. Sebutlah Imam Fakhruddin Ar-Razi, beliau ulama mutakalim dan sekaligus mufashir juga yang mempunyai karya tafshir fenomenal. Pada suatu kisah guru kami Syekh Muhanna bercerita dalam salah satu majelis nya bahwa Imam Ar-Razi mendatangi sebuah perkampungan, dikarnakan beliau yang begitu sangat terkenal hampir tidak ada satupun orang-orang yang tinggal di perkampungan tersebut yang tidak mengenal dia, kecuali satu. Beliau adalah salah satu orang yang termasuk kecenderung dalam mengamalkan agama pada konteks kezuhudannya terhadap hal-hal selain tuhan, dalam bahasa saat ini mungkin kita bisa menyebutnya sebagai ahli tasawuf. 


 Beberapa orang bertanyalah kepada si fulan tersebut mengapa dia tidak tertarik untuk menghampiri dan bertemu atau bahkan untuk sekedar melihat sang Imam? 
Dia hanya menjawab “saya tidak tahu dia siapa.” 
Orang-orang tersebut pun kaget mendengar jawabannya, ucap salah satu diantara mereka “Imam fakhruddin Ar-Razi, Imam yang sangat mahir, Imam yang berhasil membeberkan 1000 dalil kepada semua orang sehingga mereka tidak bisa menolak akan keberadaan eksistensi Tuhan!”
Kemudian dia menjawab “1000 dalil? Walau jika hanya ada 1 dalil pun datang kepada saya, saya tidak akan percaya, karna saya telah mantap dan yakin dalam kepercayaan terhadap Tuhan tanpa harus ada dalil satupun!” 


 Menarik untuk di cermati, sadarkah kalian bahwa hakikatnya memang sangat benar sekali jika dalil itu di peruntukan bagi orang-orang yang memang butuh kepastian agar dapat mempercayai suatu hal, tapi bagaimana jika mereka yang tidak butuh satu dalil pun dalam mempercayai tuhan? Layaknya seorang pria yang mencintai seorang wanita tanpa alasan, sungguh sangat istimewa sekali orang-orang seperti itu. 


 Ada dua poros penganut kepercayaan Tuhan dalam hal ini Allah yang sesungguhnya saling berada di ujung tetapi tidak bertolak belakang, mereka adalah penganut keyakinan tuhan yang percaya karna dalil-dalil, dan mereka penganut keyakinan Tuhan yang percaya tanpa dalil. Rasionalis religius adalah mereka para pemegang dalil dan yang satunya adalah suprarasionalis religius. 


 Bagi orang-orang yang sedang belajar maupun terpelajar fenomena akan hadirnya dua poros tersebut bukan untuk saling dipertentangan atau bahkan untuk saling bertolak belakang satu sama lain. Jika kita merujuk kepada tulisan sebelum nya pada konteks ini para rasionalis religius lah yang hanya dapat dikatakan sebagai seorang manusia karna untuk para suprarasionalis kemanusiaan mereka telah benar-benar melebur dalam keesaan dan kekuasaan Tuhan semata, tanpa ada hal-hal apapun yang dapat mempunyai potensi untuk menghadirkan eksistensi perwujudan yang lain selain Tuhan itu sendiri. Bagi mereka sudah tidak ada lagi dalil penunjang bagi mereka agar lebih yakin untuk dapat terus melebur dalam keesaannya, justru merekalah yang menjadi dalil itu sendiri bagi diri mereka untuk dapat terus bisa menjadi seorang manusia diatas batas kemanusiaannya.  


 Sebutlah contoh sepeti ulama-ulama yang terkenal karna konsepnya yang terlampau jauh tinggi menembus batas kemanusiaannya, Alhallaj misalnya, atau Ibnu Arabi. Mereka berdua adalah contoh dari jenis manusia yang dalam perwujudan batinnya sudah bukan lagi menjadi seorang manusia. Katakan satu lagi seperti pengarang kitab Al-Hikam yaitu Ibnu Atha’illah, pelajari dan resapi makna dari setiap kalam-kalam hikam yang terdapat pada kitab tersebut. Percayalah bahwa itu bukan perkataan manusia biasa, melainkan itu adalah reinterpretasi kalam Tuhan yang turun terhadap hambanya yang shalih dibawah satu tingkat setelah nabi. Bagi para pengagum Al-Ghazali misalnya tentu tidak akan asing dengan Ihya nya yang banyak ulama berbicara hingga tingkat keberlebihannya mereka dengan menyatakan bahwa kalaulah tidak ada Al-Qur’an niscaya Ihya yang akan menjadi kitab suci bagi umat muslim. 


 Kemudian kini kita berpindah dalam poros pembahasannya terhadap ulama-ulama rasionalis religius, dalam hal ini saya lebih cenderung untuk menyebut mereka sebagai para filsuf yang beragama muslim. Seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Baqilani dan termasuk Al-Ghazali, karna dalam masa transisi pergerakan pemikiran nya Al-Ghazali sempat berada dalam poros ini sampai akhirnya dia berpindah-pindah dan berlabuh pada poros suprarasionalis. Secara utuh kita tidak bisa meletakkan Al-Ghazali dalam lingkaran mereka, karna dalam beberapa kesempatan Al-Ghazali pernah mengkritik pemikiran-pemikiran yang menurutnya perlu diluruskan dan bahkan ada yang dikritik habis dari beberapa pemikiran yang sudah benar-benar menyimpang. 
  

 Kecendrungan pada poros ini yang lebih memilih hati-hati dalam memutuskan sajian pemikiran agama apa yang dapat dihidangkan secara masuk akal dan tidak terlalu kebablasan (walau beberapa kebablasan juga) tetapi ini menjadi satu ciri khas yang ada pada corak keberpikiran mereka. Tentu modal awal untuk dapat menekuni hidangan dalam bidang pemikiran ini adalah kecakapan dalam berfikir yang dibalut oleh sajian materi seputar ke-logikaan agar dapat mencari dan berjalan hingga menyimpulkan keputusan yang tepat dalam berfikir. Tapi tahukah bahwa semakin orang belajar akan hal-hal materialis yang bersifat fisik atau wujud pada akhirnya dia akan sampai pada batas zona alam yang dimana dia sadar bahwa akal manusia tidak dapat menjangkau lebih dari batas keberpikirannya sebagai manusia. Ini pernah dibuktikan oleh beberapa filsuf barat belakangan ini. Jangankan mereka, beratus-ratus tahun sebelumnya Al-Ghazali pun mengalami hal yang sama hingga akhirnya dia menulis buku berjudul “Penyelamat dari kesesatan” panduan khusus bagi mereka yang menyelami lautan ilmu logika dan filsafat yang selalu membahas hal-hal yang bersifat fisik hingga lupa bahwa disana terdapat hal-hal juga yang bersifat metafisik. 


 Sesungguhnya posisi kedua poros yang berbeda tersebut antara ujung dan ujung sangatlah nyata sekali adanya. Tetapi sangat disayangkan beberapa mayoritas dari kalangan terpelajar pun tidak menyadari bahwa sesunggunya perberbedaan poros yang antara ujung dan ujung itu mungkin bisa dikatakan terpisah oleh batas yang sangat hampir tidak terlihat, sehingga kadang dalam beberapa kasus kejadian sebagian dari kita tidak menyadari atau bahkan menyangka bahwa terdapat kesinambungan yang saling mendukung dalam eksistensi keberadaannya. 


 Dalam penutup kali ini saya ingin membawakan cerita kembali, bahwa di ceritakan terjadi pertemuan antara seorang pemikir atau filsuf (rasionlais religius) dengan seorang sufi (suprarasionalis religius). Keduanya terlibat dalam perbincangan yang sangat hangat sekali hingga tidak sadar bahwa beberapa waktu berlalu dan mereka masih terlelap dalam perbincangan hangatnya, sampai suatu keadaan yang memaksanya harus berpisah, kemudian sang pemikir atau filsuf tadi berkata dalam kesendirian nya إن كل ما أعرفه يراه “sesungguhnya segala sesuatu yang aku ketahui, dia telah melihatnya” dan sang sufi tersebut tersenyum berkata lirih إن كل ما أراه يعرفه“sesungguhnya segala sesuatu yang aku lihat, dia telah mengetahuinya”



Waallahua’lam bishawwab




Bogor, 28 Februari 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Poligami Antara Adat Dan Syariat

Meneladani Jejak Para Wali Iskandariyah

Series Loki dalam Metafor Filsafat dan Agama