China, Uighur, Muslim, Dan Corona




 Sudah beberapa bulan berlalu, wacana dari pembahasan wabah sebuah virus yang ditakuti ini masih menjadi santapan hangat yang setiap harinya selalu di perbincangkan, dari mulai isu konspirasinya di awal masa penyebarannya, hingga isu yang mengatakan bahwa ini adalah adzab bagi bangsa china karna telah sombong dan menyiksa umat muslim disana. 


 Sempat tidak tertarik untuk membahas permasalahan ini ketika sebelum pulang dari mesir kemarin, sampai ketika ada beberapa teman di salah satu universitas di Yaman mengunggah sebuah teks dari kitab karangan salah satu masyaikh disana yang menyebutkan dengan menyinggung nama virus tersebut secara eksplisit sebagai tanda-tanda akhir zaman. Saya masih juga agaknya berpura-pura untuk tidak mau tahu karna sudah lelah dengan banyak pembahasan ilmu eskatologi yang akhirnya hanya  berdampak kepada ketakutan umat muslim itu sendiri dalam beribadah mendekatkan diri kepada Allah, dan terlebih dalam dunia kedokteran itu sendiri ternyata jenis virus yang di namai corona ini bukan satu-satu nya yang muncul kali ini, yang mungkin boleh jadi beberapa dekade sebelum nya pun pernah virus semacam ini pernah muncul dengan nama yang sama tetapi dalam jenis yang berbeda. 


 Sampai pada suatu siang tadi ketika menghadiri salah satu masjid untuk shalat jum’at dan mendengarkan khutbahnya yang berisi tentang tema wabah virus ini. Setelah menyimak secara langsung saya jadi sudah mengerti dan faham mengapa isu-isu wabah virus ini yang sangat lekat sekali dikaitkan dengan bumbu-bumbu agama. Bagaimana tidak, pada sesi khutbah jum’at yang menurut saya sebagai ajang perenungan mingguan bagi umat muslim yang selama tujuh hari sibuk dengan kegiatan duniawinya malah diisi oleh tema-tema sebutar penanam benih kebencian untuk mendiskreditkan suatu bangsa atas dasar dalih agama yang katanya adalah sebuah adzab. 


 Seharusnya dalam sesi mingguan yang sangat sakral, khutbah jum’at menjadi saat yang ditunggu-tunggu untuk dapat mengisi daya iman kembali dengan mendengarkan cerita-cerita penuh cinta dan hikmah, bukan dengan cerita peringatan agar jangan berbuat sombong tetapi dibalut dengan sebuah peristiwa krisis kemanuasiaan yang seharusnya membuat kita prihatin dan ingin membantu bukan malah mendiskreditkannya. Lagi-lagi umat muslim dewasa ini harus bisa lebih selektif dalam mengkonsumsi asupan dakwah yang ia jadikan sebagai pengisi daya imannya, pasalnya jika jenis dakwah seperti itu dikonsumsi oleh umat muslim kita yang dalam hitungan perkapita nya masih sibuk mengajar duniawi maka dirinya akan merasa bahwa itu adalah sebenar-benar nya dakwah dalam ajaran agama Islam, alhasil menjadi sangat tidak janggal ketika ada isu apapun yang sedang berkembang di masyarakat kemudian kita selalu mengkaitkannya dengan agama. 


 Semua ini berawal dari kabar simpang siur yang banyak juga telah terframing oleh berbagai media pers asing ataupun lokal tentang penyiksaan pemerintah China terhadap salah satu etnis muslim disana yaitu Ugyhur. Kabar yang sampai saat ini belum bisa terkonfirmasi secara pasti oleh masyarakat kita telah menjadi makanan yang ditelan bulat-bulat bahwa peristiwa itu adalah perlakuan kekejaman pemerintah komunis China terhadap umat muslim Ugyhur. Padahal beberapa kali kita kerap diminta agar tidak ikut campur dalam peristiwa ini karna murninya ini adalah urusan internal pemerintah China itu sendiri, karna beberapa kabar menyebutkan bahwa masyarakat muslim Ugyhur tersebut ada yang berafiliasi dengan jaringan teroris internasional yang kemudian menjadi ancaman besar atas kedaulatan China itu sendiri. Tapi apapun isunya kita memang tidak bisa menutup mata atas peristiwa kekerasan yang dialami oleh muslim Ugyhur disana, tapi mungkin untuk sedikitnya mengambil jalan tengah kita bisa menyebut peristiwa tersebut sebagai krisis kemanusiaan tanpa harus dibalut dengan isu agama yang akhirnya hanya melahirkan kebencian terhadap suatu etnis tertentu. 


 Kembali pada wabah virus, sama halnya ketika di akhir tadi kita menyikapi peristiwa muslim Ugyhur bahwa wabah virus ini pun seharusnya menjadi wacana krisis kemanusiaan tanpa harus ada agama yang menjadi bumbu penyedap didalam nya. Masalah saat khutbah jum’at tadi pun jika seandainya sang khatib berbicara mengenai virus ini untuk agar tetap kaum muslimin bisa mendoakan kebaikan kepada siapapun yang mendapat wabah penyakit ini tidak ada masalah dengan khutbahnya, dan kemudian jadikanlah peristiwa tersebut sebagai peringatan bagi setiap umat manusia di dunia ini untuk dapat bisa berlindung secara lahir dan batin, bukan dengan membicarakan nya sebagai suatu adzab di atas mimbar dengan mediskreditkan suatu bangsa yang sebenarnya dalam ranah tersebut bukanlah manusia yang dapat menghakimi siapa yang mendapatkan hak untuk di adzab dan siapa yang tidak. 


 Masih terngiang penggalan-penggalan kalimat yang disampaikan beberapa orang yang mengaku bahwa dirinya seorang Da’i yang mendakwahkan Islam, ada salah satu kalimat yang cukup menggelitik bahwa virus corona adalah adzab yang Allah turunkan khusus terhadap bangsa China. Lalu apa kabar bangsa china lain yang tidak terkena wabah virus tersebut? Apakah Allah tidak adil menghukum suatu kaum hanya sebagian saja dan kemudian meninggalkan sebagian yang lain? Lalu apa kabar juga mengenai kabar terbaru ini bahwa virus tersebut telah masuk ke Arab Saudi sehingga pemerintah disana memberhentikan sementara bagi semua calon jama’ah dari seluruh dunia yang hendak akan melakukan ibadah umroh? Apakah Arab Saudi yang di dalam nya ada dua kota suci mendapatkan adzab juga? 


 Maka janganlah terlalu mudah mendeklarasikan sesuatu atas nama Allah, apalagi mengenai adzab dan hukuman yang seharusnya sebagai seorang hamba bukanlah ranah kita untuk dapat menghakimi siapapun bahwa dia di adzab atau akan di adzab dan bahkan telah di adzab oleh Allah. 


 Terakhir saya ingin mengucapkan bela sungkawa terhadap siapapun yang terkena wabah virus ini atau bahkan telah menjadi korban dari krisis kemanusiaan ini. Semoga Allah selalu melindungi kita semua dan menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran bagi kita agar ingat bahwa manusia sehebat apapun manusia tetap dia adalah manusia. Jika dalam bahasa arab, mengapa manusia disebut insan? Meminjam perkataan guru kami Syekh Muhanna bahwa insan berarti lupa, kita adalah hamba yang lupa dan pelupa, jika kita sedang ingat maka percayalan bahwa sesungguhnya Allah lah yang telah membuatnya menjadi ingat. 



Waallahua’lam bishawab 




Bogor, 28 Februari 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Poligami Antara Adat Dan Syariat

Meneladani Jejak Para Wali Iskandariyah

Series Loki dalam Metafor Filsafat dan Agama