Mengulas Problematika “Women Campaign” Ala Tara Basro


 Akhir-akhir ini publik sering dibuat kaget dengan kabar-kabar yang kian kuat tak terbendung akan segala hal yang seharusnya tidak besar menjadi dibesar-besarkan, yang seharusnya konyol untuk dibahas, menjadi sangat penting untuk dibahas. Mulai dari isu-isu hoax mengenai virus corona yang sedang menjadi perbincangan hangat saat ini, cara pencegahannya yang masih banyak dikaitkan dengan religiutas tertentu, hingga desas-desus ramuan yang membuat harga rempah-rempah dipasar tidak menentu.

                                             
 Beberapa hari lalu saya agak dikagetkan oleh notifikasi yang muncul di akun twitter saya, pasalnya saya memang menyalakan notifikasi dari salah satu akun yang saya follow akibat ke-bucinan saya terhadapanya, ya maklum manusiawi hhe. Oiya, kembali soal notifikasi tadi, notifikasi tersebut memberitahukan bahwa fulanah ini menyukai salah satu postingan yang jujur sampai saat ini tidak terfikir akan menjadi sorotan publik atau bahkan menjadi masalah yang akan diangkat serius oleh lembaga pemerintahan. Saat itu, jujur saya agaknya lebih lama berfikir setelah membaca dan melihat foto yang ada pada cuitan twit tersebut, bukan malah berfikir ngeres atau yang tidak-tidak walau jika dibandingkan dengan foto yang sekarang tersebar itu tidak se-vulgar foto yang saya lihat ketika itu. Ya, mungkin itu sebabnya beberapa saat kemudian foto tersebut di hapus, tapi dengan mempertahankan foto yang agaknya masih membawa nilai dari pesan moral yang tersirat di dalamnya.


 Berbagai komentar bermunculan, dari 8/10 mengutarakan apresiasi dan pujian akan postingan tersebut, sisanya menyayangkan karna membawa tendensi buruk akan sebuah stigma “foto telanjang di ruang publik”. Pada kelompok minoritas ini kita tidak bisa menutup mata ataupun telinga, karna pembelaan mereka pun berdasar atas foto dalam konten tersebut yang bisa di akses oleh semua kalangan, mengingat bahwa media sosial dan internet telah masuk ke dalam jenjang umur yang tidak ada batasan “dia sudah 17 tahun ke atas atau belum”. Dari sisi ini ada beberapa yang menggunakan agama sebagai landasan utama atas sikap penyayangannya, mereka berkata bahwa konten dalam postingan tersebut membawa pengaruh baik dalam segi kampanye tekstualnya, tapi sekali lagi yang menjadi masalah adalah penolakan terhadap fotonya yang dinilai oleh agama memang sudah termasuk dalam kategori “nyeleneh”. 


 Jika ingin diuraikan, postingan ini memiliki dua unsur yang tidak dapat terpisahkan mengenai pesan moral yang sedang ingin disampaikan oleh si pengunggah. Pertama adalah foto yang menjadi pengaplikasian contoh dari teks, dan yang kedua adalah teks yang menjadi penjelasan rinci dari foto tersebut. Maka dari sini kita mesti bersepakat bahwa foto dan teks tersebut adalah satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan, karna jika kita tidak menyepakati ini akan timbul beberapa hal perbedaan yang dapat menghancurkan urutan kaidah berfikir kita untuk mendapatkan poin akhir dalam pembahasan ini. Seperti salah satu mereka yang berkata bahwa kampanye mengenai body positive tidak perlu menggunakan foto vulgar seperti itu, atau cukup saja kita menggunakan prinsip idealisme yang bersifat filosofis-spiritualis bahwa Tuhan tidak melihat kepada tubuh dan tampilanmu, melainkan kepada hatimu. Ya, dan berbagai pembelaan lainnya atas ketidaksetujuan kelompok manapun mengenai postingan tersebut. Maka mari kita sepakati bersama sekali lagi bahwa foto dan teks tersebut adalah satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. 


 Permasalahan lebih serius ketika kominfo sebagai kementerian yang bertugas membidangi urusan komunikasi dan informatika membuat pernyataan ketika diwawancarai dalam salah satu kesempatan bahwa postingan tersebut dilebeli sebagai konten pornografi, kemudian kominfo dalam hal itu mengatakan bahwa postingan tersebut bisa jadi dipermasalahkan lebih lanjut karna telah memenuhi unsur pasal 27 ayat 1 UU ITE. 


 Dalam hal ini saya tidak akan membahas menganai hukum dan undang-undang, disamping itu bukan keahlian saya tetapi bukan itu pula poin yang saya ingin sampaikan dalam tulisan ini. Saya ingin merujuk kembali pada kesepakatan kita sebelumnya, demi menguji daya berfikir yang kritis, masyarakat kita harus tergugah agar tidak menjadi masyarakat yang kagetan apalagi ngacengan dalam konteks permasalahan ini. Kemudian ini akan menjadi teguran yang sangat baik bagi pemerintah juga ketika melihat masyarakatnya yang semakin hari semakin teruji daya berfikir kritis yang terstruktur baik dan benar. 


 Pada kesepakatan kita, benar bahwa dua unsur dari postingan tersebut saling berkaitan dan tidak bisa kita pisahkan satu sama lain. Kita bisa membantah kepada mereka yang mayoritas dalam pendapat ini mengatakan “tolak fotonya, dukung kampanyenya”. Jika kita iyakan hal tersebut, kampanye apa yang bisa kita aplikasikan dalam sebuah contoh kongkrit agar masyarakat bisa mencerna pesan yang ingin kita sampaikan? Jika bukan melalu foto lantas melalui apalagi? Terlebih khusus untuk para wanita yang dalam hal ini sangat merasa terdorong menimbulkan rasa percaya diri mereka masing-masing ketika melihat postingan yang membawa dua unsur paket lengkap dalam konteks tersebut. 


 Kemudian jika memang dalam kasus ini kominfo benar-benar melanjutkan tindakannya dalam membawa kasus ini ke jalur yang lebih serius, ini hanya akan menjadi bahan kekonyolan dan gunjingan bagi para masyarakat Indonesia atas kegagalannya pemerintah untuk dapat berfikir sehat yang kemudian tidak dapat menyikapi permasalahan ini dengan sangat baik dan bijak.


 Masyarakat dapat menggugat dengan mempertanyakan foto-foto lain yang serupa tetapi tidak dilebeli sebagai konten pornografi oleh pemerintah, seperti foto bumil yang sedang ramai dilakukan oleh berbagai seleb dalam mengabadikan momentnya ketika hamil dengan gaya berfoto yang menyingkap setengah dari baju nya agar perut buncitnya terlihat, atau seperti foto-foto para seleb di akun-akun media sosial mereka yang terpampang jelas mengenakan bikini. Terlalu banyak jika kita sandingkan dengan berbagai macam kasus yang sama dengan tindakan yang berbeda. Karna untuk UU ITE yang dijatuhkan pun masih sangat bias jika hanya dikaitkan dengan satu kasus ini. 


 Mengenai pengawasan, agarnya dapat terlihat imbang, ini menjadi tanggung jawab bersama untuk mengingatkan terkhusus kepada para orang tua yang sudah telanjur memberikan smartphone kepada anaknya yang belum berusia dewasa. Karna pada setiap aplikasi pun mereka sudah memberi tanggung jawab mereka masing-masing dalam memberikan pilihan pada pengaturan yang membedakan pengguna dewasa dengan pengguna dibawah umur yang harus masih dalam lindungan dan pantauan orang tua. 


 Terakhir sebelum selesai saya ingin bersikap adil setidaknya, dalam agama khususnya agama islam memang secara mutlak tidak dibenarkan memandang perempuan yang bukan muhrim terlebih dalam kondisi pakaian yang terbuka ataupun semi-terbuka. Dalam urusan ini hukum syariat kembali pada tanggung jawab masing-masing bagaimana kita dapat menerima dan menyikapinya. Kita berpacaran, agama melarang berpacaran karna terdapat tendensi-tendensi buruk yang dapat menuntun kita kepada puncak dosanya yaitu zina, tetapi bagaimana jika dengan berpacaran itu kita tidak melakukan hal-hal yang dikhawatirkan oleh agama tersebut? 


 Dalam pandangan saya hukum itu dijatuhkan karna ada pertimbangan yang boleh jadi membuat kita melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariat. Maka jika selama kita tidak dalam kondisi melakukan hal-hal yang dikhawatirkan dalam syariat untuk dilanggar apakah hukum tersebut masih berlaku? Mungkin kita bisa berdiskusi lebih lanjut mengenai ini atau jika ada yang ingin mengkritik silahkan menuliskannya di kolom komentar atau menjawab dengan tulisan lain. 


 Tulisan ini terkhusus saya dedikasikan terhadap semua wanita di seluruh Indonesia dengan menyusul peringatan hari wanita yang akan berlangsung beberapa hari lagi. Agama yang khususnya dalam hal ini Islam dari fase awal penyebarannya hingga fase perkembangannya selalu menjungjung nilai-nilai kemanusian dan menghapuskan budaya-budaya yang sering dinilai merugikan perempuan. Dengan masih sangat kentalnya budaya patriarki di Indonesia, kita pun tidak bisa menutup mata terhadap beberapa oknum dari tokoh agama ini yang masih enggan hingga saat ini untuk mengungkap nilai-nilai dari prinsip Islam yang dapat mensejahterakan atau bahkan mengangkat derajat wanita yang setara dalam hak prinsip kemanusiaan nya dengan pria. Islam menempatkan wanita dalam satu jajaran derajat yang sama dengan pria dalam kepemilikan hak-hak kemanusiaannya yang wajib ditunaikan dan penuhi. Terlalu banyak contoh yang bisa dijadikan sebagai dalil penunjang dalam pemenuhann hak-hak kewanitaan dalam Islam. Maka jadilah muslim ideal yang selalu jujur dalam mendakwahkan agama apa adanya tanpa harus menutupi sebagian pesan yang dinilai dapat merugikan sebagian kaum yang lain.



Waallahu’alam bishawab




Bogor, 6 Maret 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Poligami Antara Adat Dan Syariat

Meneladani Jejak Para Wali Iskandariyah

Series Loki dalam Metafor Filsafat dan Agama