Anak-anak Dalam Pandangan Tasawuf Psikologi



Jikalau kita mengenal konsep tadzalul dan taraqi dalam tasawuf adalah hubungan antara murid dengan mursyid maka konsep serupa bisa kita terapkan dalam pandangan akademis kita atas kondisi sosial masyarakat yang beragam, contohnya atas perbedaan umur.

 

 Secara realitas umur menjadi pembeda antara siapa yang lebih tua dan muda, walau dalam ukuran kedewasaan umur tidak menjamin atas itu. Tapi dalam hal ini yang kita bicarakan adalah perbedaan umur atas pemikiran dan karakter bukan kedewasaan.

 

 Siapa saja bisa berjalan untuk menembus gelar akademik setinggi-tingginya, tetapi tidak semua dari mereka yang mampu untuk bisa kembali kebawah kemudian menyesuaikan dengan kondisinya atas kondisi pemikiran dan karakter seseorang yang lebih muda dari umurnya.

 

 Kadang sangat tidak mudah untuk dapat memahami seseorang yang tergolong lebih muda dari kita, contohnya anak-anak. 

 

 Tentu jembatan pemisah yang menjadikan kita tidak dapat bisa sama dengan mereka adalah keadaan psikologis dari umur serta latar belakang pendidikan. Seorang doktor mungkin belum tentu dapat mengajar anak-anak di sekolah dasar jika memang dia belum bisa menyesuaikan keadaan psikologisnya untuk turun dan melebur dalam keadaan psikologis seorang anak.

 

Maka perlulah kita menerapkan konsep tadzalul dan taraqi ini.

 

 Jikalau dalam tasawuf seseorang yang sudah taraqi kemudian dia belum tadzalul maka dia belum bisa untuk membawa seseorang agar sampai pada kondisinya saat itu, berbeda dengan seseorang yg sudah taraqi kemudian tadzalul maka dia sudah bisa membawa seseorang untuk dapat menitih jalan menuju Allah SWT.

 

 Menarik ketika kita analogikan kepada dua keadaan psikologis yang sangat berbeda antara seorang doktor dan pelajar sekolah dasar, masih sangat jarang seseorang yang bergelar akamedik tinggi kemudian dapat bisa melebur dalam kondisi psikologis seorang anak. Alih-alih ingin membawa anak tersebut faham atas pengetahuan pada porsinya tapi justru membuatnya pusing dengan sajian penjelasan yang rumit. 

 

 Dalam penelitian psikologi ada salah satu metode yang dapat menunjang agar kita dapat melebur pada objek yang ingin kita kaji mengenai permasalahan guna memahami kondisi objek tersebut, yaitu metode deskriptif. Pada metode ini untuk mendapatkan informasi yang utuh atas keadaan suatu objek maka kita harus melebur dalam kondisi objek tersebut, seperti mengerti keadaan disetiap fase pertumbuhan seorang anak dari kondisi fisik, sosial, pemikiran hingga karakter. Maka sangat wajar hasil dari yang kita dapat saat ini pada pola pendidikan anak di sekolah dasar pasti sangat berbeda dengan pola pendidikan yang lebih diatasnya, karna dalam setiap kondisi tersebut masing-masing pasti memiliki psikis yang berbeda.

 

 Menjadi seorang akademisi sangatlah tidak mudah, mulai dari menggapainya hingga mempertanggungjawabkannya apakah dapat berguna untuk lapisan-lapisan masyarakat kelak. Mulailah dari yang terkecil, jikalau contoh diatas terlalu jauh mungkin kita bisa contohkan atas tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Tidak sedikit dari orang tua yang berpendidikan tinggi tetapi lalai dalam hal mendidik anak, atau yang lebih buruk yaitu ketidakpedulian dalam mendidik karna merasa beban mendidiknya telah sirna digantikan oleh guru-guru di sekolah.

 

 Jika kita merujuk kepada hadist nabi yang sangat familiar bahwa ridha-Nya Allah ada pada ridha orang tua dan murka-Nya Allah ada pada murka orang tua, para ulama banyak mengkategorikan orang tua disini adalah orang tua kandung (biologis) dan orang tua non biologis yaitu guru-guru kita.

 

 Kemudian kita seringkali menjumpai hal yang menjadi sorotan pembahasan dari hadist ini adalah konteks dari orang tua non biologis tersebut, bahwa derajat mereka atau guru-guru kita dalam hal ridha dan murkanya adalah sama dengan derajat orang tua kita.

 

Agar adil, bagaimana jika kita letakan sorotan tersebut untuk orang tua kandung juga, bahwa derajat orang tua kita dalam hal mendidik sama dengan derajat guru-guru kita. 

 

 Jika masing-masing sudah meletakan tugas pada konteks hadist nabi tersebut maka kita dapat simpulkan bahwa tanggungan guru untuk memberikan ridha kepada anak didik sama derajatnya dengan derajat orang tua kandungnya, dan tanggungan orang tua kandung dalam memberikan pendidikan kepada anak kandungnya sama derajatnya dengan derajat guru-guru di sekolah. 

 

 Orang tua memiliki peran pernting dalam hal mendidik, tidak hanya memenuhi kebutuhan materi tetapi kebutuhan akan pendidikan bagi sang anak sama perlunya. Bukan dengan konteks bahwa dengan menyekolahkan anak lantas gugur kewajiban mendidikanya, tetapi lebih dari itu peran orang tua dalam tanggung jawab mendidik sama porsinya dengan para guru-guru di sekolah sang anak.

 

Konsep diatas setidaknya dapat menjadi salah satu solusi dari bagaimana cara kita memahami kondisi anak-anak untuk dapat menididiknya sesuai dengan kebutuhan porsi seharusnya, baik porsi mereka dalam menerima pengetahuan dan porsi kita dalam menjadi penunjang agar pengetahuan tersebut tersampaikan.  

 

 Maka menjadi orang tua bisa dikategorikan sebagai amanat yang berat ditambah jika sudah dikaruniai seorang anak kelak. Amanat tersebut menjadi bertambah ketika kita memikul amanat pendidikan dari gelar akademik kita.

 

 Bagi sebagian orang mungkin ada yang menikmati proses tersebut secara bersamaan atau mungkin ada yang masih setia menunggu prosesnya kemudian berpindah ke fase selanjutnya. Maka posisikan diri kita sesuai kemampuan kita masing-masing dan jangan coba-coba membandingkan dengan memaksa kemampuan kita kepada seseorang yang ternyata belum mampu untuk dapat bisa seperti kita. 

 

 Nikmatilah proses dari diri kita masing-masing hingga sampai kepada tujuan yang sama, yaitu bermanfaat bagi sesama.

 *Tulisan telat dalam memperingati hari anak 23 Juli kemarin


Kairo, 8 Agustus 2021 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Poligami Antara Adat Dan Syariat

Meneladani Jejak Para Wali Iskandariyah

Series Loki dalam Metafor Filsafat dan Agama